60 - Reagan

881 167 75
                                    

60


Butiran abu mencucup tulang pipi Reagan. Kelopak matanya perlahan membuka, seperti sibakan tirai jendela kamarnya tiap pagi. Bukan, pikirnya. Bukan sembarang pagi. Melainkan hari-hari di mana hal pertama yang disaksikannya adalah wajah terlelap wanita terindah dalam hidupnya. Bulu mata lentik nan tebalnya naik turun mengikuti irama napas wanita itu. Kerut resah terkadang menghias dahinya, mendorong Reagan mengecupnya dengan teramat perlahan, mengusir mimpi buruk yang menggeluti tidur wanita itu sembari berdoa dalam hati, tidak ada lagi yang perlu kau takutkan sekarang karena kau aman bersamaku. Sebelum akhirnya meraih pundak wanita itu, mengeratkan pelukannya dan tidur sedikit lebih lama.

Aroma besi darah menyusup masuk ke penciuman Reagan dan, seketika, ia menyadari semua kebahagiaan itu adalah permainan benaknya. Betapa kejam. Sebab, sesungguhnya, ia tengah berbaring pada satu sisi tubuh di atas tumpukan petarung yang gugur. Apa yang membalas pandangannya adalah panorama mengenaskan seusai perang. Hamparan tubuh mati bagai lautan tanpa batas. Para petugas medis melontarkan seruan akan bantuan dan pertolongan. Sementara di hadapan Reagan adalah wajah seorang prajurit entah, kedua matanya membeliak terbuka. Mulutnya menganga, membatu akan kematian.

Wajah prajurit itu kemudian terkelupas, menampakkan paras lain yang Reagan kenal baik. Seakrab ia mengenal wajahnya sendiri di cermin. Lagi-lagi, benak Reagan mempermainkan indranya. Reagan menyaksikan dengan kedua matanya sendiri bagaimana tubuh Ragnar melebur menjadi seribu kuantum yang mustahil disatukan kembali. Tidak menyisakan barang satu saja anggota tubuh bagi Reagan kuburkan. Tidakkah Reagan mengharapkan kematian Ragnar, menempatkan kakaknya itu di urutan teratas daftar bunuhnya? Tetapi, mengapa sabit kesedihan menggores hatinya kala menyaksikan kepergian Ragnar? Mungkin, diam-diam, ia mengandaikan hubungan mereka tanpa segala petaka yang berjatuhan, bergantian menimpa mereka.

Seperti dua tahun lalu pertemuan mereka di Reibeart. Bagaimana Reagan amat mencurigai Ragnar, datang bangkit dari kematian dan, di saat bersamaan, hanya ingin merangkul kakaknya, sekadar menanyakan kabar. Namun, dari raut dan kedut air muka Ragnar pun Reagan tahu—sebagaimana dirinya, pria itu telah kehilangan siapa dirinya. Dominicus Ragnar memudar bersama waktu sama halnya Marcellus Reagan.

"Pernahkah kau bertanya-tanya—mungkinkah kehidupan tengah mempersiapkanmu untuk sesuatu lebih?" tanya Duke kala itu. Tatapannya tampak tidak goncang, memandangi keriangan warga ibukota Reibeart berdansa mengikuti irama lagu band. Musim panas di Dyre tidak pernah semeriah itu.

"Aku tidak tahu," jawab Reagan, telah lama berhenti berharap kepada kehidupan. Menengadahkan kepalanya, ia mendapati gugusan bintang menyaksikan mereka. Membayangkan, mungkin, para dewa-dewi tengah menertawakan kehidupannya. "Aku bahkan tidak lagi peduli pada dewa manapun di atas sana."

Ragnar ikut mendongak, seperti yang kerap mereka lakukan di masa kecil mereka. Bersisian, menebak-nebak rasi bintang. "Aku masih memegang harapan itu, Reagan. Kehidupan tidak lagi adil kepadaku. Tetapi, aku tahu mereka mempersiapkan kehidupanmu untuk sesuatu lebih."

Reagan hanya menanggapinya dengan bahu dingin. Tidak sedikit pun memercayai omong kosong itu—hingga satu siang di Pameran Seni Reibeart. Bisikan semesta seakan menembus segala lapisan hatinya, menghidupkan kembali sosok yang dirindukannya dari masa lalu. Gores kuas pada lukisan yang mengingatkan Reagan kepada ibunya.

Lukisan jendela kamar yang membingkai panorama kota. Sekalipun kanvas di hadapannya saat itu dipadati oleh warna-warni cerah, kesepian mendalam terpendam dalam setiap goresannya. Tampak sederhana, namun pada hakikatnya dijiwai oleh berbagai makna dan emosi dan keinginan. Ia terperangkap dalam kesedihan goresannya karena, untuk sekali seumur hidupnya, Reagan menaruh setitik kepercayaan bahwa kehidupan mungkin saja mempersiapkannya untuk sesuatu lebih.

KANIAWhere stories live. Discover now