32 - Kania [21+]

1.4K 159 29
                                    

32


Indah.

Ribuan kupu-kupu beterbangan di dada Kania. Kepakan sayap mereka menggetarkan isi perut Kania tak ubahnya buncahan antisipasi, seperti klimaks sebuah opera yang memacu jantung penonton. Ketakutan adalah makhluk dari antah-berantah, diusir pergi dari satu kata sederhana yang mengalir keluar dari bibir menyerupai busur paling kokoh. Apabila dahulu Reagan mampu memberikan ketukan asing pada detak jantungnya, kini jantung Kania seolah berada di bawah kuasa tangannya, merebut irama tubuh Kania. Seutuhnya.

Sementara sebelah tangannya masih bersinggungan dengan milik Reagan, tangan Kania lainnya mulai mengukir bagian terluar daun telinga pria itu. Berhati-hati, seakan ia adalah kurator seni yang tengah mengagumi maha karya di hadapannya. Reagan mengeratkan rahangnya, matanya terpejam di bawah jemari Kania yang menuruni sisi lehernya—sebelum berhenti pada satu titik antara rambut pirang dan tengkuknya. Perlahan menutup jarak.

Mereka seolah berdansa dalam ritme sunyi mereka, beringsut saling mendekat kepada kehadiran satu sama lainnya. Detik ketika dahi Reagan bersandar pada dahinya, aroma sewangi kayu manis mengobarkan panas sepanjang tulang punggung Kania. Aroma pria itu, pedas dan manis dan memabukkan. Hangat bibir pria itu mengambang di atas bibir Kania, mengukur seluk-beluk permukaannya. Menggelitik dan menggoda Kania untuk terbakar bersama dalam petikan api di antara mereka. Seperti menanti api itu meledak dan meletus.

Momentum itu datang, amukan badai di atas Samudera Timur. Reagan tidak pernah dikenal akan kesabarannya, menangkup belakang kepala Kania. Lembap kecupan Reagan sepanas hujan meteor. Kania menerimanya dengan baik, membelah mulutnya terbuka, menawarkan panas rongga mulutnya. Lidah Reagan membelai setiap sudut mulutnya, menekan dan keras—dan oleh siksaan surgawi itu, tubuh Kania menggeliat merasakan euforia menyapu sarafnya. Membusurkan tubuhnya kala elusan tangan Reagan menuruni belakang leher, punggung, dan beristirahat pada pinggang rampingnya.

Tangan Reagan cermat membawa tubuh mereka merapat. Kania terpaksa bergantung tipis, mencengkeram bahu bidangnya. Merasakan keras dadanya—seluruh tubuhnya—mendesak setiap jengkal kehadiran Kania. Pakaian mereka saling menggesek seiring Reagan memimpin ciuman yang kian liar. Sentuhan pria itu di mana-mana, menjejaki jenjang paha Kania, menyingkap perlahan tepi gaunnya sementara Reagan membawa punggung Kania turun dan turun, menemui keempukan matrasnya. Helai hitam rambutnya tersebar kontras di atas putih ranjang, selayaknya kipas hitam pada kanvas.

Reagan menyesap bibir bawahnya terakhir, menjadikannya merah merekah dan bengkak oleh ciumannya. Kania menyadari betapa Reagan mencintai bibirnya, tidak seinci pun meninggalkan bibirnya kala berkata, cengkeramannya pada paha Kania adalah tanda kepemilikan, "Kau tahu kecupan tidak akan lagi cukup bagiku."

Jemari Kania menjambak rambutnya perlahan, helaian halusnya menari di antara sela jarinya. Kania tahu apa yang akan datang setelahnya. Ia tahu dan ia—"Aku tidak takut," bisiknya. Seperti perintah bulan pada pasang surut lautan. Absolut.

Sentuhan Reagan menjelajahi paha telanjang Kania dan naik melalui selangkangannya. Di bawah gaun tidurnya—Kania tidak mengenakan satu benang pun. Reagan membawa lapisan sutra itu bersamanya, buku jarinya menggesek berbagai titik sensitif yang Kania tak tahu ada pada tubuhnya. Pusarnya, lembah di antara payudaranya. Dan dalam sekejap, Reagan membuang gaunnya ke kegelapan kamar. Tidak ada kata mundur.

Reagan bangkit di atas tubuhnya, manik kelabunya mereguk setiap lekuk dan sudut tubuh Kania, tak ubahnya predator yang menilai mangsanya. Puncak payudaranya mengeras entah oleh hawa dingin atau tatapan hangat Reagan, dan refleks, kedua tangan Kania meraih payudaranya. Reagan menggeleng, berdecak sembari menyingkirkan tangan Kania. Hanya dibutuhkan satu genggamannya menahan kedua tangan Kania di atas kepalanya.

KANIAWhere stories live. Discover now