37 - Ragnar

678 153 89
                                    

37


Kapal pedagang itu menyapu ombak Samudera Timur tanpa intensi buruk atau biadab. Satu pasangan paruh usia, satu putra dan dua anak putrinya, serta tiga awak kapal lainnya. Mereka bahkan tidak mengerti mengapa pelayaran mereka dihentikan kapal perang berpanji Waisenburg. Penjarahan terjadi sesingkat kedipan mata mereka, di luar segala prakiraan mereka. Darah pria tumpah, jeritan wanita ditawan dan diperkosa. Mereka tidak sedikit pun menyalahi Waisenburg—namun, bagi Duke, hitam dan putih dunia seolah telah membaur menjadi satu.

Itu perintah sang Raja: habisi semua Dyre di lautan. Rebut kekayaan mereka. Bunuh dan siksa para pria. Tawan wanita-wanita mereka. Duke memandangi dari dek kapal semua kemalangan itu, tidak berniat mengotori pedangnya dengan darah mereka, tetapi juga tanpa niat membantu. Mengira-ngira, seberapa persis posisi Duke seperti para dewa-dewi di khayangan, menyaksikan tragedi dari takhta ilahi mereka, tanpa berkutik sedikit pun. Untuk begitu berkuasa dan menonton neraka yang dibawa umat manusia ke dunia. Mati rasa.

Penglihatan Duke menangkap seorang wanita berikal merah diseret dari lambung kapal. Ia kesakitan, sebelah pipinya memar dan darah mengucur dari robekan di bibirnya. Prajurit Waisenburg yang membawanya ke dek kapal, berseru, mengumpan predator lain bersemangat ke arahnya, "Lihat yang satu ini bersembunyi!"

Putri ketiga? Istri kedua? Selayaknya gravitasi, perhatian Duke terpusat pada ikal merahnya, sewarna tembaga dan api dan segala yang menyala. Ketika perempuan lain menjerit menangis, wanita itu menggeram dan mendesis. Tubuh rampingnya meronta, berusaha mengusir tangan-tangan yang melecehkannya kendati tahu percuma. Tetapi, di dunia di mana hanya ada pemangsa dan mangsa, ia memberikan perlawanan yang mampu memberikan tontonan terbaik dewa-dewi.

Para prajurit mulai berebutan, mengalahkan satu dan yang lainnya meraih wanita itu. Berminggu-minggu di lautan, jauh dari kehangatan wanita membuat mereka tampak menyedihkan. Merobek bagian depan gaun wanita itu, memiting tubuhnya di atas dek kapal, seperti yang mereka lakukan kepada tiga wanita lainnya. Menyingkap tepi gaunnya, menampilkan paha semulus mutiara. Wanita itu mengerang frustasi. Tahu bahwa pergolakannya sudah tiba di puncak.

Ia tidak lagi menginginkan diselamatkan. Hanya ingin lekas-lekas melalui penderitaannya.

Tangan berdarah Cyrilla dari memori dua puluh tahun lalu menyergap Duke. Ia bahkan tidak menyadari napasnya berubah berat. Apa ia selemah itu? Duke meraih belati paling tajam, dengan jitu melemparnya mengiris paha prajurit yang memiting tubuh wanita itu. Sunyi pecah di antara keributan, setiap pasang mata was-was memandangi Duke. Pembunuh paling berharga Raja William.

"Dia milikku," suara Duke setenang perairan di siang hari, namun membawa ancaman yang dipahami prajurit di hadapannya. "Bawa dia ke kamarku." Dan bergegas mereka menuruti perintahnya.

"Tolong!" pekik wanita lain dalam Waisenburg terbata-bata sementara para prajurit tengah bergilir mengklaim dirinya. "Selamatkan aku! Aku akan melayanimu dengan baik."

Duke sekilas memindai tiga wanita lainnya, menilai mereka singkat sebelum memutar badan dan berkata dari balik bahu, "Lanjutkan."

Di belakang langkahnya, kekacauan itu kembali bergemuruh.


***


Seusai makan malam, barulah Duke kembali ke kamar. Ia membawa satu nampan berisikan segelas bir dan roti. Pelayan telah menyalakan lilin ke kamar sehingga dengan mudah, ia mendapati wanita itu duduk terikat erat pada kursi kayu. Terang jingga menyentuh ikal merah wanita itu, memberikan nuansa tidak biasa pada helaiannya. Kedua alisnya meruncing, manik birunya menatap Duke sengit.

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang