5 - Kania

823 180 27
                                    

5

Kania menghela napas beratnya dan, seketika, seluruh fokus wanita di meja bundar putih itu tertuju padanya. Segala perbincangan mereka mengenai kilau rambut seorang aktor pria entah seketika berhenti. Kania tidak perlu mengangkat pandangannya sedikit pun dari permukaan tehnya untuk mengetahui ekspresi seperti apa yang sedang mereka tampakkan. Raut wajah mereka pasti menyerupai kolam iba yang dibuat-buat, seakan helaan napas Kania merupakan indikasi bahwa dirinya tidak lama lagi meninggal, sedang sakit berat, dan memerlukan perhatian berlebihan dari tiga wanita di meja tersebut.

Rosalind yang pertama kali bertanya, pemimpin dari kelompok kecilnya yang bermulut jahat, anak-anak dari keluarga berkuasa. Ia tumbuh menjadi wanita yang senang memamerkan segalanya; kecantikan, status, dan kekayaannya. Rambut pirang panjangnya merupakan objek puisi para pria yang mati-matian mengejarnya dan, untuk beberapa tahun lamanya, Rosalind menikmati seluruh perhatian itu. Mempermainkan para pria ke titik di mana sekumpulan orang bodoh itu memujanya bagai ratu. Hingga akhirnya, atas tuntutan ayahnya, ia menerima lamaran seorang duke tua kaya raya.

Bukan pernikahan yang bahagia, namun lazim di kalangan bangsawan Reibeart. Menikah demi politik dan keuntungan strategis, cinta belakangan. Rosalind dapat memamerkan gelar barunya, menindas lebih banyak lagi orang dengan strata sosial rendah, sementara sang duke memperoleh seorang pewaris. Walaupun sesungguhnya, rumor yang beredar mengatakan bahwa bocah laki-laki itu bukan pewaris yang sah. Namun, sang duke yang tua tidak lagi memiliki banyak pilihan untuk mencegah gelar bangsawannya dikembalikan kepada mahkota kerajaan Reibeart.

"Apa kau baik-baik saja, Tuan Putri?" tanya Rosalind, menatap Kania dari ujung matanya seolah tengah mendelik. Namun, setelah bertahun-tahun mengenalnya, Kania tahu Rosalind yang cantik memiliki tatapan jahat. "Kau tampak lesu."

"Apa teh ini tidak sesuai seleramu, Tuan Putri?" pertanyaan itu keluar dari mulut Beatrice yang penuh kue lemon. Jika Rosalind tumbuh menjadi seorang wanita dengan kecantikan bercahaya, pola makan berantakan Beatrice menjadikan wanita itu tiga puluh kilo di atas berat rata-rata wanita, dalam kata lain, bahan candaan dua teman lainnya. Dari ketiga wanita di hadapannya, Beatrice memiliki sifat paling hangat—sekaligus otak yang tumpul.

Ujung jari lentik Michaela menyentuh cangkirnya. "Demi dewa-dewi, tehmu dingin." Michaela menggeleng kepalanya, selalu berusaha mengikuti lagak sinis Rosalind dan gagal. Ia melambaikan tangan pada Miriam tidak jauh dari pintu masuk rumah kaca. "Tidakkah kau lihat ini? Bagaimana mungkin kau menyajikan teh dingin kepada seorang putri?"

Miriam, cerdas dan pintar, tahu bahwa majikannya tidak pernah menikmati teh di hadapan tiga wanita bangsawan tersebut. Selera makan Kania pudar tiap kali duduk di meja putih itu dan ia tidak akan pernah mengangkat barang satu jari pun menyentuh baik makanan maupun minumannya. Kania takjub sebagaimana Miriam mampu membendung seluruh pengetahuan itu di balik datar wajahnya, menghampiri meja dengan langkah terlatih, menuang teh hangat ke dalam cangkir barunya. Asap mengepul, membawa aroma nikmat teh.

Kania sekilas mencuri pandang pada jam yang digantung dekat saku gaun Miriam. Semenjak mempelajari bahwa Kania selalu menunggu tidak sabaran acara minum teh itu berakhir, Miriam selalu membawa jam tersebut. Biasanya Miriam akan mengisyaratkan dengan tangan berapa waktu yang tersisa atau menunjukkannya secara tidak langsung seperti sekarang.

Kania menarik napasnya kembali, meregangkan paru-parunya untuk dua puluh menit ke depan. Dua puluh menit sebelum penyiksaan ini berakhir. Ia akan terbebaskan, kali ini benar-benar terbebaskan. Langkahnya tidak lama lagi menyusuri kota, menjajah satu per satu toko di distrik terdekat. Ia akan memastikan membeli sepeti penuh cat biru. Kuas baru, mungkin, tetapi yang paling penting adalah buku sketsa baru. Corat-coret gusarnya semalam sudah memenuhi halaman terakhir dari buku sketsa kesembilan puluh enamnya.

KANIAWhere stories live. Discover now