39 - Reagan / Ignatius

562 140 23
                                    

39

Tidak pernah terpikirkan oleh Reagan untuk menangani langsung bobolnya waduk di Reburn. Setiap pemimpin yang dikenalnya, baik melalui pengalaman ataupun buku sejarah, membawa dirinya dengan penuh martabat. Mereka bagaikan perwujudan dewa dan dewi yang turun ke dunia, dimaksudkan untuk diagung-agungkan, bukan disetarakan selayaknya manusia biasa. Reagan selalu mengirim Dorian mengatasi pelbagai permasalahan di wilaya Dyre. Tetapi, Kania benar apa adanya; dengan kehadiran Reagan, rakyat Reburn tampak lebih kooperatif dari sebelumnya. Terutama ketika mereka menyaksikan sang Kaisar—alih-alih berdiri memandangi dari sisi—membantu pasukan menggotong bebatuan ataupun bahan untuk memperbaiki waduk.

Sendi dan jalinan ototnya terasa lebih rileks. Seolah, selama bertahun-tahun ikut serta perang, yang dibutuhkan Reagan menyapu hantu lawannya dari mimpi adalah bekerja keras. Kini ketika matanya terpejam, ia akan mendapati dirinya berbaring di rerumputan pada bantaran sungai, mendengar deru aliran yang membasuh pergi pikirannya. Kania juga di sana, berbaring menghadap Reagan, bibir merah mudanya melengkung senang. Sementara itu elusan Reagan mengukir pipi Kania, sisi wajahnya yang terukir begitu mungil pada telapak tangannya. Tidak ada ketakutan, Valentina, dan masa lalunya. Hanya Kania serta masa depannya.

Malam sebelum keberangkatannya ke Dresden, Dorian mengetuk pintu kamar penginapannya. Tanpa melepaskan perhatian dari cermin sebadan berbingkai perak, Reagan menyahut, "Masuk."

Wajah Dorian tampak dari bukaan pintu, tidak terbaca. Di tangannya adalah syal hitam dengan pinggiran merah serta karangan bunga. Dorian menutup pintu di balik punggungnya, tatapan mereka bertemu pada pantulan cermin.

"Dari wanita-wanita Reburn, Yang Mulia," Dorian meletakkan kedua hadiah tersebut di atas meja. "Anda jelas menjerat hati banyak gadis di desa."

Hanya satu wanita yang penting dan Reagan jelas tahu siapa. Ia meletakkan gelas anggurnya di dekat perapian. "Aku tahu kau datang tidak untuk sekadar membawa hadiah mereka, Dorian."

Dorian berubah resah berdiri seakan-akan kedua tungkainya bukanlah miliknya. "Saya tidak yakin Anda akan senang mendengarnya."

Reagan mendengus, "Kau membuatnya terdengar lebih menjengkelkan."

Pria di hadapannya meraih sepucuk surat dari saku, "Surat, Yang Mulia, dari Ansburgh." Dan Dorian mulai membaca isi dari surat begitu Reagan mengedikkan dagunya.

"Salam kepada Kaisar Marcellus, pemimpin tertinggi tanah Dyre,

Bagaimana Anda menyesuaikan diri di Reburn? Saya selalu menyukai pai apel khas—"

"Langsung ke intinya, Dorian." Reagan bersedekap. Surat-surat dari Ignatius tidak pernah terkenal ramah kata.

Dorian menelan ludahnya sebelum melanjutkan, "Atas nama iman dan keyakinan, Yang Mulia Kaisar, saya tidak berniat mencemari kehormatan Anda. Dalam kurun waktu seminggu, Yang Mulia Ratu telah menunjukkan bakat luar biasa mengendalikan Zahlnya. Saya berpikir, sekiranya, demi keyakinan Ansburgh dan Dyre—"

Reagan tidak perlu mendengar kelanjutan dari isi surat tersebut untuk mengetahui jalan pikiran Ignatius. Reagan tahu mengungkapkan Kania kepada Ignatius mampu memberikan ide-ide tidak masuk akal di kepala pria tua itu. Namun, di sisi lain, membiarkan kekuatan sedahsyat itu—satu-satunya di dunia saat ini—tanpa tali kekang memberikan kesempatan bagi bahaya-bahaya tidak diundang. Dinding-dinding berbicara. Lambat laun, semua orang akan mengetahui kekuatan apa yang Kania memiliki sesungguhnya. Ketika tiba hari itu, di mana manusia mulai mengincar Kania demi keuntungan pribadi, tidak akan ada yang kuasa menyelamatkan wanita itu selain dirinya sendiri.

Reagan meraih gelas anggur, kemudian menyesap cairan kemerahan itu. Berupaya membasuh pahit di tenggorokan. Dorian telah lama usai menuntaskan bacanya, menunggu Reagan yang tengah berkutat dengan pemikirannya.

Reagan menghirup napas, keputusannya bulat, "Tidak."

"Yang Mulia," Dorian melipat surat kembali ke sakunya, "bila sang Ratu benar seperti yang disampaikan Ignatius—sang Ratu adalah satu-satunya kemungkinan kita memenangkan perang ini."

Rahang Reagan mengeras. Sebab, ia tahu itu benar. Tetapi, menerjunkan Kania ke peperangan adalah hal lainnya. Reagan telah berjanji untuk melindunginya. "Sang Ratu," ucap Reagan perlahan, "bukan alat. Ia tidak akan menyatakan kesediaannya mengikuti perang."

"Yang Mulia—"

"Tidak, Dorian. Katakan kepada Ignatius bahwa aku melarangnya."

Dorian mengembangkan dadanya putus asa sebelum membungkuk hormat. "Baik, Yang Mulia. Saya akan segera membalas Pendeta Tinggi."

Detik suara pintu menutup menggaung ke sepenjuru ruangan, gelas di tangannya nyaris pecah oleh genggamannya. Reagan menegak habis anggur, lalu mencoba tidur.

Ia kesulitan tidur.


***


Surat balasan itu datang kala Ignatius tengah melaksanakan rutinitas paginya. Memulai harinya dengan berdoa. Kemudian, berjalan sekeliling komplek gereja, merasakan udara segar subuh menyejukkan permukaan wajahnya. Memandangi langit hitam berubah keunguan, merekah merah, sebelum warna pagi hari menyambut. Salah seorang biarawan menemukan Ignatius tengah berjalan, membawa surat bercap lambang sang Kaisar. Baru saja datang, katanya. Tetapi, Ignatius lebih terkejut pada fakta bahwa tidak dibutuhkan barang sehari bagi sang Kaisar membalas suratnya.

Tangan keriput Ignatius meraih surat tersebut, terasa nyaris seperti pukulan berat atas apa yang dipercayainya selama ini. Ia membaca isi surat dan tidak sedikitpun ia terkejut. Ia tahu sang Kaisar tidak akan membiarkan sang Ratu terjun ke peperangan sekalipun mengetahui bahwa wanita itu adalah satu-satunya harapan yang mereka punya. Hati Ignatius melembut akan fakta satu itu; pada akhirnya, sang Kaisar menemukan sosok untuk diperjuangkan.

Namun, perkara ini pada hakikatnya lebih dari sekadar masalah perorangan. Dengan berat di dada, Ignatius kembali menemukan dirinya di hadapan patung sang Dewi Penciptaan, kedua tangannya terentang, bermaksud menerima mengayomi jiwa manapun yang dilanda kesulitan. Mosaik kaca besar di belakangnya membiaskan cahaya belia pagi hari, seperti berusaha memberikan secercah harapan.

Ignatius berlutut, menjalin kedua tangannya menjadi satu. Mempertimbangkan pelbagai pemikiran meresahkan di benaknya. Sebagai seorang Mercier, ia selalu mengetahui apa tujuan utamanya di kehidupan ini. Tidak sekali pun melangkah gentar, tahu bahwa hidupnya diperuntukkan hanya untuk satu hal. Namun, kali ini, entah bagaimana, hanya jalur kegelapan yang terbentang di hadapannya. Ketidakpastian.

Bagaimana melindungi semua keyakinan itu jika jalan yang ditempuhnya dipenuhi ketidakpastian? Ansburgh adalah jantungnya. Iman adalah napasnya.

Hanya ada satu alternatif lain—kendati Ignatius tahu sang Kaisar tidak akan pernah mengampuninya. Ia mendongak, disambut belas kasih pada wajah sang Dewi. Tersenyum. Selalu memberkati jalannya, sebab Ignatius tidak pernah meminta hal selain yang terbaik bagi Ansburgh. Keyakinan yang keluarganya pegang teguh. Ia tidak akan jatuh dan gagal seperti Ganondorf. Di bawah tangannya, ia akan mengharumkan kembali nama keluarganya. Untuk itu, Ansburgh adalah segalanya.

Suara Ayah bergema, Ignatius kembali muda. Harapan-harapan yang penduduk Ansburgh kala itu bersinar di kegelapan kelam. Pengakuan yang diperoleh keluarganya hanya di tanah Ansburgh. Hanya itu yang diperlukan Ignatius menumpas ketidakpastian. Janjinya untuk melindungi Ansburgh.

Dan Ignatius membatin, lebih khusyuk dari yang pernah dilakukannya. Jika ini apa yang kau inginkan, Dewi—maka tidak ada pilihan lainnya. []

Hai gaisss, balik lagi sama aku menjelang makan sore dan makan malam HUAHHAHA. 

Kali ini dari POV abang Reagan dan eyang Ignatius

HIHIHI, sepertinya cerita sudah mulai meresahkan :(

KANIAWhere stories live. Discover now