27 - Ajax

706 160 31
                                    

27

Ajax akan mengingat hari itu selamanya. Hari di mana segala yang telah diperjuangkannya dua puluh satu tahun terakhir remuk redam di bawah ujung pedang lawannya. Hari di mana anak haram Jenderal Lancaster ternama yang merangkak naik ke posisi ia berada sekarang, digadang-gadang sebagai keajaiban dunia militer, digulingkan dari tangga tinggi itu oleh seorang remaja delapan belas tahun. Ia kembali meringkuk di dasar tangga yang hampa cahaya, sementara para bangsawan di koloseum duduk mengitarinya bersorak-sorai atas kekalahannya.

Menjijikan. Ajax jadi bertanya-tanya bagaimana selama empat tahun terakhir remaja di hadapannya bertahan sebagai bahan hiburan para bangsawan menjijikan itu. Namun, tidak butuh waktu lama bagi Ajax memperoleh jawabannya. Bahkan semua yang dilalui Ajax sepanjang hidupnya tidak sebanding dengan dingin permukaan manik kelabunya, bukan tatapan seorang remaja. Raut bibir yang ditempa keras kehidupannya. Ia membelakangi matahari, kegelapan menegaskan kekelaman yang tersimpan jauh dalam diri remaja itu.

Hanya satu tugas Ajax: mengalahkan remaja pemenang pertandingan Dresden empat tahun terakhir. Remaja yang besar di Ansburgh, bangkit dari ranah yatim piatu, merangsek jalannya menuju kemenangan berkali-kali. Kekhawatiran terbesar ayahnya. Sebab, rumor beredar bahwa keunggulan bocah itu menarik perhatian Kaisar Cicero. Posisi Ayah sebagai jenderal sang Kaisar bisa jadi tergeser, terutama ketika kemenangan demi kemenangan remaja itu perlahan menggalang dukungan dari para rakyat jelata. Remaja yang melambangkan perjuangan rakyat melawan aristokrasi.

"Kau tidak bisa mati di sini," bisik remaja itu. Ujung pedangnya berkilat.

Ia meninggalkan Ajax tersungkur di atas pasir. Wajah Ayah memerah di samping sang Kaisar yang bertepuk tangan gembira atas kemenangan remaja itu. Ayah jelas tampak tidak senang, mengingatkan Ajax pada masa kecilnya. Gigil takut menjalari tulang punggungnya, memahami perlakuan tegas Ayah membesarkan Ajax. Detik itu, Ajax memilih mati ketimbang menghadapi ayahnya.

Kaisar Cicero mengadakan pesta besar-besaran merayakan kemenangan remaja itu. Memperkenalkannya sebagai Marcellus Reagan, pangeran keenambelas Kekaisaran Dyre, yang atas keputusannya dahulu, dibesarkan oleh pendeta Ansburgh—kini, kembali dan diangkat sang Kaisar menjadi pemimpin pasukan istimewa Dyre atas sepak terjang tak tercelanya. Kaisar Cicero bersulang, melingkarkan sebelah lengannya pada bahu Reagan begitu bahagia. Namun, raut wajah Reagan menunjukkan pengabaian.

Ketika segala penghargaan itu mampu membahagiakan Ajax tak terkira, Reagan tampak tidak puas. Lalu, apa yang kau cari? Mengapa terus bertahan hidup jika tidak lagi ada yang kau harapkan dari dunia? Detik itu, Reagan balas menatapnya. Manik kelabu itu layaknya cermin, dan Ajax balik mempertanyakan dirinya sendiri. Sesungguhnya, apa yang Ajax cari? Mengapa ia bersikeras menggembirakan Ayah untuk dibalas dengan bertubi-tubi luka dan pukulan?

"Aku sia-sia membesarkanmu," ujar Ayah sementara tangannya menenggelamkan sisi wajah Ajax ke panas perapian. "Kau membuatku malu." Kemudian, membakar wajahnya lagi.

Tidak satupun pelayan atau bawahan Ayah berani menghalanginya. Ajax berteriak dan berteriak, melolongkan kesakitan. Ajax bukan lagi bocah kecil, namun kian besar ia beranjak, ia semakin tidak berdaya melawan ayahnya. Ajax tidak seharusnya hidup di dunia ini. Nyawa dan tubuh Ajax, keduanya adalah kesalahan. Kekeliruan. Andai ia dapat memilih tidak lahir ke dunia ini, Ajax tidak akan merasakan panas perapian melelehkan wajahnya. Amarah Ayah menghancurkan dirinya.

Ajax tidak meminta untuk dilahirkan. Ayah pun tidak menginginkan kelahirannya. Ibunya telah lama meninggal. Sedari kecil ia dibesarkan bersama kecoak dan tikus di gudang. Para pelayan tidak berani terang-terangan menolongnya, mengetahui bahwa tuan mereka terkenal memiliki perangai dan watak buruk. Hanya ketika Ayah berulang kali gagal memperoleh penerus dari istrinya, Ajax memperoleh perhatiannya. Bagaimanapun, warisan Keluarga Lancaster, sebagai pedang serta perisai Kekaisaran Dyre tiada boleh mati.

KANIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang