Tiga Puluh Delapan

249 36 12
                                    

Ken hanya mendengus sebal ketika melihat gadis pujaannya duduk di depan sang musuh. Entah sejak kapan mereka berbaikan, Ken bahkan tidak tahu.

Atau mungkin belum? Sebab sayup-sayup Ken mendengar sebuah permintaan maaf keluar dari mulut Raja.

"Gue udah minta maaf sama Dini, sekarang lo mau, kan, maafin gue?" Terdengar agak memaksa untuk permintaan maaf sebenarnya, tapi Cindy tidak mau memperpanjang lagi.

"Iya," sahut Cindy. "Jangan diulangin lagi. Gue nggak suka kalau ada yang gangguin temen-temen gue."

Segaris senyum tipis terbit di wajah Raja. Cowok itu mengangguk pelan, meski yang di hadapannya masih berekspresi datar.

"Kemarin gue lihat di bioskop, film dari novel kesukaan lo itu udah tayang. Mau ke nonton bareng nggak?" tawar Raja, membuat Ken yang berada di seberang langsung melotot.

"Nggak dulu deh. Seminggu lagi udah olimpiade, gue mau belajar," tolak Cindy. Sontak membuat Ken menahan girang.

Sedangkan Raja agak kecewa, tapi tidak mau memperlihatkannya. "Kalau gitu gue temenin belajar ya? Biasanya, kan, lo minta dibantuin buat hafalan."

Cindy menggeleng. "Gue bisa belajar sendiri, Ja."

Akhirnya Raja menyerah. Dia tidak mau memaksa gadis itu lebih jauh lagi. "Oh, ya udah kalau gitu," pasrahnya.

"Udah nggak ada yang perlu diomongin lagi, kan?" tanya Cindy, "kalau gitu gue balik ya," pamitnya.

Tanpa menunggu jawaban Raja, Cindy segera bangkit berdiri dan pergi meninggalkannya. Raja juga tidak berniat mencegah. Cowok itu hanya menunduk diam. Dia tahu hubungannya dengan Cindy tak akan pernah sama lagi.

Di lain sisi, Ken juga ikut keluar dari kantin, mengejar langkah Cindy yang sebelum semakin menjauh.

Masih dengan botol teh pucuk yang berada di genggaman tangannya, Ken lalu menempelkan botol itu ke dahi Cindy. Tentu saja Cindy langsung berhenti.

"Dinginin dulu kepala lo," kata Ken sambil menyengir lebar. Dua lesung di pipinya terlihat begitu dalam.

Cindy segera menjauhkan kepalanya dari Ken. "Gue lagi nggak mau bercanda ya," ketusnya.

"Iya, abis ini gue seriusin, tapi nunggu lulus dulu ya," sahut Ken enteng.

"Dih," cibir Cindy.

Ken hanya tertawa kecil. "Minum dulu nih. Lo pasti haus abis panas-panasan di lapangan nontonin gue."

"Geer banget. Gue nggak nonton elo tuh," elak Cindy seraya menerima teh pucuk dari Ken.

Ken menggeleng-gelengkan kepalanya. Heran dengan gengsi si Tuan Putri. "Nggak usah bohong. Soalnya dari awal gue udah ngelihatin lo terus pake mata kepala gue sendiri."

"Emang lo bisa ngelihat gue dari panggung?" tanya Cindy.

"Bisa banget. Bahkan kalau nggak ada lo, kayaknya gue nggak akan bisa nyanyi sepede itu."

Cindy terdiam beberapa saat. Malu. Selain itu ada rasa lain yang terselip dihatinya sekarang. Susah untuk mendeskripsikannya, tapi Cindy merasa nyaman karenanya. Seperti ada banyak kupu-kupu di dalam perutnya yang siap keluar saat itu juga. Geli, tapi menyenangkan.

Entah kenapa rasanya menenangkan ketika tahu bahwa ternyata Ken hanya memandanginya seorang, bukan gadis lain.

"Jadi gimana?" tanya Ken menepis segala keheningan yang sempat tercipta.

"Gimana apanya?" Cindy balik bertanya, tidak mengerti dengan maksud cowok itu.

"Nanti Tuan Putri pengen ditembak pake lagu apa?"

Unperfect PrincessWhere stories live. Discover now