Dua Puluh

634 151 133
                                    

Pukul tiga kurang lima belas menit. Raja baru sampai di parkiran GOR Perjuangan. Sesaat setelah memarkirkan motor dengan rapi, dia berjalan menuju ruang ganti yang terletak di samping gedung, tempat dimana teman satu timnnya berkumpul.

Dalam perjalanan, Raja melihat beberapa anggota tim basket SMA Nusantara yang sedang duduk di depan ruang ganti mereka.

Namun, Raja tidak peduli. Dia terus berjalan melewati gerombolan itu lalu masuk ke dalam ruang ganti tim basket Tunas Bangsa.

"Anjir, Raja beneran ikut turnamen coy," celetuk salah satu anggota tim basket Nusantara.

"Wah, Clay jadinya dukung siapa? Lo atau Raja?" tanya anggota lainnya pada Tio yang kebetulan berada dalam gerombolan itu.

"Guelah," tegas Tio.

"Oh iya, gue lupa kalau mereka nggak jadi dijodohin."

Tio tidak menjawab lagi. Dadanya serasa hampir terbakar kalau mengingat Raja dan Clay dulunya hampir dijodohkan.

"Berarti kita bakalan pakai strategi yang baru?"

Semua mata langsung tertuju pada Tio. Menunggu jawaban dari sang kapten basket.

Tio hanya menggerakkan kepalanya naik dan turun, tanda dia mengangguk.

***

Di dalam gedung, Cindy dan teman-temannya sedang bingung mencari tribun Tunas Bangsa. Ada tiga tribun yang mengelilingi lapangan. Tribun kanan, kiri dan tengah.

"Eh lihat, tuh, Ka. Cewek-ceweknya bening banget, kayak selebgram," seru Gilang saat melihat tribun di sebelah kanan berisi gadis-gadis super modis mirip selebriti.

"Cowoknya juga ganteng-ganteng, tuh. Apalagi yang rambutnya diblonde gitu. Keren," imbuh Kayla. Gadis itu sampai tidak berkedip, memandangi cowok yang dia maksud.

"Biasa aja, kayak ayam warna-warni," komentar Arka disambut pelototan dari Kayla.

Memang hampir semua orang di tribun kanan, mengecat rambutnya dengan berbagai warna. Namun, hal itu tidak membuat mereka terlihat norak. Apalagi dengan outfit kekinian yang melekat sempurna di tubuh mereka. Rasanya seperti melihat artis Korea dengan kualitas lokal.

"Mereka bukan anak Tunas Bangsa." ujar Shely.

"Ya jelas. Bisa habis rambut mereka kalau ada di Tunas Bangsa," timpal Dini.

"Itu, tuh, temen-temen kita." Cindy menunjuk tribun sebelah kiri. Kepala teman-temannya kompak menoleh ke kiri.

Berbeda dengan tribun sebelah kanan, di tribun kiri isinya adalah para gadis dan cowok dengan penampilan kasual. Rambut mereka juga berwarna alami sesuai genetik dari orang tua kandung masing-masing.

Berbicara tentang tribun kiri, Cindy menyadari bahwa ada satu cowok yang sedang menatapnya. Cowok berkaus putih dengan jaket hitam yang membungkus tubuhnya.

Cindy tidak berniat membalas dengan tatapan yang sama. Tak ada gunanya beradu mata dengan cowok yang akhir-akhir ini hampir membuat Cindy kena penyakit jantung.

Namun, ketika cowok itu tersenyum dan menampakkan dua lesung di pipinya, Cindy malah tidak bisa berkedip.

"Anjir, gitu amat Ken ngelihatin gue. Iya, iya, ini gue naik." Gilang mengoceh sendiri sambil berjalan menaiki tangga. Shely segera menyusul dengan semangat.

Unperfect PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang