Tiga Puluh Dua

453 64 58
                                    

"Jadi sebenernya lo sakit beneranatau nggak sih?"

"Sakit beneran," sahut Ken. "Gara-gara AC studio lo yang dingin banget itu." Cowok itu lalu memiringkan badan, menghimpit ponselnya di antara telinga dan bantal. Dia baru saja curhat perihal masalah yang terjadi antara dirinya dan Cindy yang kemudian membaik akibat masuk angin yang dia derita hari ini.

"Halah, baru juga tidur sebentar. Padahal Tio sering banget tidur di sana cuma pakai kaos basket sama celana pendek, terus keteknya sengaja diarahin ke AC. Nggak pernah sakit tuh dia."

"Clay, gue denger ya!"

"Bagus dong, berarti nggak budek!"

Ken hanya bisa tertawa karena yang terdengar di ujung telepon sekarang adalah perseteruan antara Tio dan Clay. Tio penasaran dengan apa yang Clay bicarakan dengan Ken, tapi Clay enggan memberitahunya.

"Udah dulu ya, ini gue mau urus perang dunia ketiga dulu." Dari nada bicaranya, Clay tampak sedang kesal setengah mati.

"KALIAN GIBAHIN GUE, KAN? NGAKU CEP-!" Suara Tio yang semula berapi-api langsung hilang berganti dengan suara benturan yang cukup keras. Bisa dipastikan, sekarang Clay telah melemparkan setidaknya sebuah buku super tebal atau mungkin sesuatu yang lebih besar, kepada sahabatnya itu.

"Aw, aduh! Ken tolong! Gue belum siap ketemu malaikat maut."

"JANGAN INJEK CAT AIR GUE! ITU LEBIH MAHAL DARI HARGA DIRI LO, TIOO!"

Ken tertawa makin kencang, bahkan hingga akhirnya sambungan telepon itu diputus oleh Clay. Saking terbahaknya, dia sampai terbatuk-batuk karenanya.

Cowok itu lantas bangun untuk meminum segelas air lalu kembali meringkuk di atas kasur. Sambil menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh, Ken membuka salah satu aplikasi chat lalu mencari nama seseorang di sana.

Baru melihat bagian chatroom yang dominan diisi pesan dari dirinya sendiri saja Ken sudah senyum-senyum. Apalagi kalau sampai ada balasan dari si pemilik nama kontak Tuan Putri itu. Pasti Ken akan senang bukan main.

Ken akhirnya menekan ikon kirim setelah mengetik sebaris kalimat singkat di ponselnya. Dan ketika tanda centang berubah warna, disusul dengan sebuah pesan yang masuk, senyum dibibir Ken otomatis mengembang, menampilkan jejeran gigi putihnya. Bisa dipastikan kalau malam ini Ken akan mimpi indah.

Ken
Good night, Tuan Putri

Tuan Putri
Gdnight

***

Sebenarnya ada satu hal membuat Cindy penasaran semenjak Ken bersekolah di SMA Tunas Bangsa. Kenapa bisa cowok itu selalu datang tepat ketika Cindy tiba di sekolah? Apa sebuah kebetulan bisa terjadi sesering itu? Atau mungkin Ken yang sengaja datang lebih pagi dan menunggunya?

"Pagi, Tuan Putri," sapa Ken dengan suara yang masih terdengar agak serak.

Meski begitu, Cindy heran melihat wajah Ken yang cerah bersinar, tidak pucat pasi seperti kemarin. "Udah sembuh?"

Bukannya langsung menjawab, Ken malah nyengir lalu menarik tangan Cindy dan menempelkannya di dahi. "Tolong diperiksa lagi bu dokter, kira-kira udah sehat atau masih sakit?"

Hal itu sontak mengundang tatapan dari semua orang yang melintas di sekitar mereka. Membuat Cindy cepat-cepat menarik tangannya kembali.

"Apaan sih? Bokap gue yang dokter bukan gue," ketusnya seperti biasa.

Ken hanya tersenyum menahan tawa. Lucu sekali Cindy kalau sedang salah tingkah begini.

Unperfect PrincessWhere stories live. Discover now