Tiga Puluh Sembilan

192 34 14
                                    

"Terus lo tahu nggak, waktu gue pulang gue dikasih obat lagi, lucu banget, kan. Mana itu obat dari apotik rumah sakit gue. Kayaknya dia nyolong obat punya papanya deh. Haha." Ken tertawa renyah di sela-sela ceritanya.

Clay tersenyum tipis seraya mendengarkan setumpuk cerita yang Ken lontarkan. Dari sorot mata Ken saat menceritakan kisahnya dengan Cindy, terlihat jelas sebesar apa rasa bahagianya setiap bersama gadis pujaannya itu. Ken memang anak yang ceria, tapi Clay tak pernah melihat Ken sebahagia ini.

"Jadi kalian belum pacaran?" tanya Clay, membuat raut wajah Ken yang semula cerah menjadi mendung.

"Belum," sahut Ken singkat.

"Berarti dia belum bener-bener suka sama lo," ujar Clay seraya menahan tawa.

Ken memundurkan badannya sambil menunduk. "Bagus deh," gumamnya pelan.

"Padahal ini kesempatan besar buat lo ngambil hati Cindy," lanjut Clay. "Gue yakin sebentar lagi lo pasti bisa dapetin dia. Nih ya, gue kasih tahu."

Ken tidak menyahut lagi ketika Clay begitu semangat memberinya berbagai masukan. Ken hanya tersenyum tipis sambil mengangguk-angguk kecil. Sesekali kedua mata Ken melirik tas belanjaan yang Clay bawa sejak kedatangannya ke kafe ini sore tadi. Tas itu diisi penuh dengan cat air, kuas, dan berbagai peralatan melukis lainnya yang hanya Ken tidak tahu apa namanya.

Kemudian netranya kembali menatap Clay yang tengah meneguk matcha blended kesukaannya.

"Pokoknya nanti kalau lo butuh apa-apa buat nembak Cindy, kasih tau gue aja. Biar gue yang atur. Lo terima jadi aja," tambah Clay.

Ken hanya tersenyum tipis. Tidak menjawab. Perlahan dia menarik napas lalu membuangnya.

Maafin gue, Clay.

Mungkin di sisa hidupnya, Ken akan terus merasa bersalah pada gadis itu.

***

Waktu berlalu terlalu cepat. Tanpa terasa tujuh hari lagi Cindy akan melewati babak penyisihan tahap satu olimpiade tingkat nasional. Meski bukan kali pertama, tetapi Cindy tetap merasa gugup melewati sisa hari menuju olimpiade tersebut.

Tak jarang Cindy terlihat melamun, entah saat menunggu makanannya datang atau saat menunggu jemputan. Seperti sekarang ini. Lagi-lagi Cindy tampak melamun. Memandang lalu lalang kendaraan bermotor dengan tatapan kosong.

Ken menghampiri gadis itu, tapi tak ada respon yang berarti. Cindy bahkan tidak sadar dengan kehadiran Ken di sana.

"Astaga!" spontan Cindy kaget ketika merasakan dingin di dahinya. Entah sejak kapan cowok dengan kedua lesung pipi itu berdiri di sebelahnya. Menempelkan sebotol minuman dingin tepat di kepala Cindy.

"Bisa nggak sih lo nggak nempel-nempelin botol ke kepala gue lagi?" gerutu Cindy mengingat betapa seringnya Ken melakukan hal itu.

Ken hanya menyengir. "Maaf, nanti gue tempelin es aja deh biar lebih dingin."

Cindy melotot, tapi Ken malah tergelak karenanya. Dia kemudian mengubah posisinya yang semula berdiri, menjadi duduk di sebelah Cindy.

"Gue dijemput bokap hari ini," ucap Cindy sebelum Ken mengajaknya untuk pulang bersama. Terlalu sering bersama Ken, membuat Cindy mulai hafal dengan segala kebiasaan cowok itu.

"Ya udah, gue temenin sampai lo dijemput."

"Dih, nggak usah," balas Cindy gengsi, seperti biasa.

"Tuan Putri, lo bisa kesurupan kalau ngelamun terus kayak tadi. Mending gue temenin, biar ada yang diajak ngobrol, kan."

Cindy tidak menyahut lagi. Memberi tanda kalau apa yang Ken ucapkan ada benarnya.

Unperfect Princessजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें