Empat Puluh Satu

216 28 6
                                    

Lima puluh lima menit sudah Cindy dan puluhan peserta lainnya harus bergelut dengan kertas-kertas berisikan soal-soal ekonomi. Masing-masing dari mereka tampak sibuk membaca, berpikir, menghitung dan menganalisa maksud soal di hadapannya. Bermacam-macam ekspresi mereka tampilkan. Ada yang mengerjakan dengan santai, ada juga yang mengerjakan dengan alis nyaris menyatu, seperti Cindy misalnya.

Ada satu soal yang menurut Cindy akan menjebak apabila tak dianalisa dengan benar maksud kalimatnya. Oleh karena itu, dia membaca ke empat soal itu berulang-ulang hingga pusing sendiri.

Cindy menyentuh pelipisnya. Pening. Padahal baru babak penyisihan.

Setelah lima menit beradu dengan soal paling menjebak itu, akhirnya Cindy menentukan satu pilihan. Meski masih ragu, tapi Cindy tak bisa berbuat banyak karena waktu mengerjakan telah habis. Dengan berat hati Cindy membalikkan lembar jawaban yang ada di mejanya lalu keluar dari ruangan itu.

"Nomer 25 sulit ya."

Entah kenapa Cindy langsung menoleh setelah mendengarnya. Seolah kalimat itu memang ditujukan untuknya. Sesaat setelah menoleh sempurna, Cindy mendapati wajah masam Clay dengan bibir sedikit manyun.

"Lo juga nggak bisa?" tanya Cindy cerah. Mengetahui kalau selevel siswa Nusantara merasa kesulitan di soal yang menurut Cindy juga sulit, rasanya sedikit melegakan.

Clay membulatkan matanya. Seolah senang menemukan teman sepenanggungan.

"Jangan bilang kalau jawaban kita sama. Lo jawab apa tadi?"

"B."

"Gue juga!" Tanpa sadar Clay bersorak hingga beberapa pasang mata menatap heran ke arahnya.

Cindy terkekeh melihat Clay spontan menutup mulut. Keduanya lantas pergi menjauhi ruangan yang mereka tempati tadi.

Mereka berjalan menyusuri lorong panjang yang menghubungkan ruangan olimpiade dengan lobi tengah sambil membicarakan banyak hal. Entah bagaimana ajaibnya mereka bisa bertukar cerita tanpa kehabisan topik. Mulai tentang soal-soal yang mereka anggap sulit, sampai cerita tentang sekolah masing-masing. Dan entah bagaimana alurnya, tiba-tiba perbincangan itu mengarah pada hubungan Clay dan Ken yang ternyata sudah dekat sejak lama.

"Ken sering cerita soal lo ke gue." Clay tiba-tiba mengulas informasi yang membuat Cindy terkejut. Tidak sulit bagi Clay membaca raut kaget yang terpancar dari wajah Cindy. Gadis itu meski terbilang cukup cuek, tapi raut wajahnya sangat ekspresif.

"Jangan bilang kalau lo tadinya ngira gue pacarnya Ken," selidik Clay. "Gue sama Ken cuman temen ya. Dia udah gue anggap kayak pembantu sendiri."

Cindy tergelak setelah Clay menyelesaikan kalimat terakhir. "Kok pembantu?"

"Emang lo nggak nyadar ya? Ken itu gampang disuruh-suruh," sahut Clay. "Dulu waktu SD gue pernah ngambek sama bokap. Terus gue sok-sokan kabur dari rumah, nggak bawa apa-apa. Nah, pas gue laper, gue suruh Ken yang ngambilin gue makan dari rumah. Alhasil, dia kena marah bokap gue, gara-gara dikira bawa gue main tapi nggak dipulangin lagi. Hahaha"

Cindy semakin terbahak mendengarnya, Clay pun turut tertawa geli mengingat masa itu. Perlahan, saat hampir sampai di ujung lorong, setelah tawa mereka sedikit mereda, Clay kembali membuka suara.

"Gue udah lama kenal sama Ken. Dia emang ramah sama banyak cewek, tapi cuman waktu lagi cerita tentang lo Ken lebih antusias dari biasanya."

Cindy hanya diam. Tidak tahu harus merespon apa lebih tepatnya.

"Lo nggak suka ya sama Ken?" tanya Clay enteng. "Ken memang gitu. Sekali dia suka sama orang, dia bakal nunjukin itu secara terang-terangan kapanpun dia mau. Orang tuanya yang dari kecil ngajarin dia buat nggak nyembunyiin perasaannya sendiri."

Unperfect PrincessWhere stories live. Discover now