Dua Puluh Dua

529 133 77
                                    

Hari ini angin berhembus lebih kencang dari hari-hari sebelumnya. Ditambah awan mendung yang menyembunyikan sinar sang surya. Bisa dipastikan, hari ini pasti akan turun hujan.

Cindy menggosokkan kedua telapak tanggannya sambil berjalan memasuki  halaman Tunas Bangsa. Sesekali dia meniup sela-sela jemarinya agar merasa lebih hangat.

Tapi tetap saja, udara dingin tak mau kalah dan Cindy merasa hidungnya mulai gatal. Lantas dia segera mengambil tisu di saku seragamnya.

"Haaacchim!"

Belum juga membuka plastik tisunya, Cindy sudah bersin duluan. Tisu mini yang tadi ada di genggamannya entah jatuh ke mana.

"Udah tahu musim hujan, masih aja nggak pakai jaket." Tiba-tiba suara itu datang bersamaan dengan sebuah jaket denim super besar yang menyelimuti tubuh Cindy.

Cindy terkejut. Dia tidak tahu sejak kapan Ken ada di dekatnya. Cowok itu mengambilkan tisu mini yang jatuh di sebelah kaki Cindy, lalu mengembalikannya.

"Meskipun gue bisa ngasih lo jalur VIP ke rumah sakit, tapi gue nggak mau kalau lo sampai sakit beneran," kata Ken. "Sekolah jadi nggak seru kalau nggak ada Tuan Putri."

Cindy ingin tersenyum, tapi ditahan. "Makin lancar ya gombalan lo," ujarnya bernada ketus seperti biasa.

Ken menyengir lebar. "Gue anggap itu ucapan terima kasih."

Heran. Cowok yang satu ini tidak ada tersinggungnya sama sekali.

Cindy melanjutkan langkahnya yang tadi terhenti sambil membersihkan hidungnya yang ternyata kering-kering saja. Ken juga ikut berjalan, di sebelah Cindy tentunya. Mereka memasuki kawasan ruang tunggu sekolah.

"Oh ya, nanti malam katanya lo mau belajar bareng kak Nia ya?" tanya Ken. Belum sempat Cindy menjawab, cowok itu kembali melanjutkan, "gue mau ikut, boleh?"

Kedua mata Cindy langsung membola. "Ngapain? Gue, kan, mau belajar Ekonomi."

"Asal lo tahu, lintas minat gue itu Ekonomi," ucap Ken santai.

"Bohong!" Cindy hampir menjerit saat melontarkannya.

"Mau ke ruang admin buat ngebuktiin?" tawar Ken masih dengan sikap super tenang seperti biasa.

Cindy terdiam sejenak. "Lo sengaja ya ambil peminatan Ekonomi?"

Ken nyaris tertawa saat mendengar tuduhan itu. "Lo bisa geer juga ya ternyata," katanya. "Udah dari kelas sepuluh, di SMA Nusantara, gue ambil lintas minat Ekonomi. Kak Nia yang nyuruh. Makanya, waktu pindah ke sini, gue lanjutin aja."

Sadar kalau Cindy baru saja mempermalukan dirinya sendiri, dia pun tidak ingin membahas hal ini lebih banyak.

"Oh," ucap Cindy singkat sambil berjalan lebih cepat. Berharap dia bisa segera mencapai koridor IPS dan berpisah dengan Ken.

Ken terkekeh pelan. "Jadi, gue boleh ikut nggak, nih?" tanyanya lagi dengan suara yang lebih keras karena Cindy berada dua meter di depannya.

"Terserah!" jawab Cindy tanpa menoleh.

Ken sengaja tidak mempercepat langkahnya. Dia malah berhenti dan menatap Cindy yang hendak berbelok menuju koridor IPS, tapi batal. Cindy berbalik lagi dan berjalan mendekat pada Ken.

"Makasih." Cindy mengembalikan jaket milik Ken kemudian segera pergi.

Di belokan koridor, Cindy bersin lagi. Namun, secepatnya dia kembali berjalan hingga menghilang tertutup gedung koridor.

Kali ini Ken tidak bisa menahan tawa. Tingkah Cindy benar-benar menggemaskan di matanya.

Sementara itu, tepat di perbatasan antara ruang tunggu dan halaman sekolah, Raja menyaksikan momen kedekatan Ken dan Cindy untuk yang kedua kalinya.

Unperfect PrincessWhere stories live. Discover now