5. Speechless

1.6K 155 0
                                    

"Happy holiday Nika. Sampai bertemu lagi di tempat magang semester depan" ucap Shofi terakhir kali bertemu di kampus siang tadi.

Liburan semester 6 sudah di depan mata. Semester depan nanti sudah masuk masa magang. Beruntung Nika dan Shofi tergabung dalam satu kelompok. Mereka tinggal menunggu waktu hingga hari H tiba. Sebulan lagi.

"Run ? Arun...." teriak Gara dengan kepala terselip di balik pintu kamar mandi.

"Asataga ! Ngapain mas ngintip-ngintip gitu?" Kaget Arun.

"Hehe...tolong dong. Handuk aku ketinggalan. Masih ada di kamar" pinta Gara dengan cengengesan.

Arum menurut. Lalu kembali menyerahkannya pada Gara.

"Makasih sayang"

Ups. Keceplosan. Gara masuk lagi dan menutup pintu rapat-rapat.

Nih mulut ganjen amat sih. Dia menepuki bibirnya yang lepas kendali.

Sayang ? Arun masih mematung. Barusan mas Gara manggil aku sayang ? apakah barusan aku salah dengar ?

Arun meneruskan mengepel lantai yang sebelumnya telah Gara sapu bersih. Yaaah bersih untuk ukuran cowok pasti tidak sampai 50%. Gara orang yang sangat pengertian. Meskipun dia bekerja dan menafkahi Arun, dia tidak sok ataupun bersikap semena-mena dimana urusan rumah dan segala tetek bengeknya harus Arun yang kerjakan. Tidak sama sekali. Mereka berdua bertanggung jawab bersama atas hal itu.

Arun mengingat keluarga kecilnya dulu. Dia, bersama mama dan papanya pernah merasakan kebahagiaan dan kehangatan yang serupa. Semua berubah setelah ayahnya mengalami kecelakaan hingga cidera parah yang membuatnya dipecat dari pekerjaannya. Sosok penyabar, penyayang, dan pengayom yang selalu Arun kagumi dan hormati telah berubah drastis. Papanya jadi tempramental. Gampang marah, suka mengeluh, dan selalu protes akan ini itu yang menurutnya tidak cocok.

Syukurlah. Gara tidak begitu. Selama ini tutur katanya selalu lembut dan memperlakukan Arun dengan baik. Tapi Arun tak semudah itu percaya. Semua orang bisa berubah sewaktu-waktu.

Ringtone HP Arun terdengar. Arun menuju kamarnya meninggalkan sejenak peralatan pel dan lantai yang masih basah.

"Halo tante ?" Sapa Arun tersenyum melihat Salma di layar ponselnya. Mereka melakukan panggilan video.

"Halo Nika, kamu ini ya sudah lupa sama om dan tantemu ? Gak pernah telepon sekalipun mentang-mentang udah ada yang baru" protes Salma.

"Hehe..maaf te. Lagi sibuk-sibuknya. Gimana kabar keluarga disana ?"

"Alhamdulillah sehat semua. Kamu sama Gara baik-baik aja kan ?"

"Alhamdulillah, iya te."

"Kapan kamu mudik ? Bukannya udah liburan semester ?"

"Ah...itu-" ucap Arun terpotong.

Keadaannya sudah berubah. Kini statusnya sudah menjadi istri Gara. Meski dirinya libur semester namun Gara tetap bekerja seperti biasa. Hari libur mereka tidak sama. Hanya terbatas weekend saja.

"Iya tenang aja. Tante paham. Yang penting kamu disana ngurus suami. Sering-sering telepon dong, tante kan juga kangen"

"Iya te"

Sementara Arun masih bertelepon dengan Salma, Gara yang di kamar mandi sedang bingung karena baju ganti yang dia bawa tak sengaja jatuh dan basah.

"Anjir. Masa gue minta tolong Arun buat ngambilin  daleman" ucapnya ragu sambil mondar-mandir di ruangan kecil itu.

"Lagian lo ngapain sok-sok an jatuh sih" ucap Gara geregetan pada satu set pakaiannya yang jatuh. Entah bagaimana kejadiannya.

Perlahan Gara membuka pintu kamar mandi. Menyembulkan kepalanya mengintip Arun di dapur.

"Run ?" Sosok yang dicarinya tidak ada.

"Lhoh kemana ?" dengan ragu sambil berjalan jinjit Gara keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk selutut dan bertelanjang dada.

Dia tidak pernah begitu setelah menikah. Malu kalau Arun melihatnya. Padahal itu sudah menjadi kebiasaannya saat tinggal sendiri disana. Lamat-lamat terdengar suara Arun mengobrol di kamarnya yang tertutup rapat.

Oh lagi teleponan toh. Untung aman. Gara mempercepat laju berjalannya masih dengan berjinjit. Untuk menuju kamarnya, Gara harus melewati kamar Arun. Semoga Arun nggak lihat. Pliis jangan keluar dulu. Gara merasa parno.

Ceklek

Sontak Gara menoleh. Dengan panik dia berlari namun naas kakinya tergelincir cairan licin di lantai (klasik ya, wkwk). Tubuh Gara oleng tak seimbang namun dia berhasil menstabilkannya dengan gerakan reflek yang ia lakukan. Arun berkedip-kedip melihat pemandangan di depannya. Dia memang tak asing melihat cowok bertelanjang dada. Ardi sepupunya selalu begitu saat di rumah ketika gerah. Begitupun teman-temannya saat di kelas sehabis pelajaran olah raga. Tapi yang ia lihat kini Gara. Suaminya. Yang masih untouchable.

"Mas Gara ngapain nari sambil handukan gitu ?"ceplos Arun menyembunyikan debaran di balik ekspresi heran.

"Hah ?! Aku nggak lagi nari, Arun. Ini hampir jatoh"

What the hell !!! nari ? Arun ngira gue nari ?! Masa gue tadi gemulai ?

Padahal kehormatannya sebagai suami hampir di ujung tanduk begitu. Untung saja dirinya tidak jatuh tengkurap di hadapan Arun. Syukurlah hari ini masih bisa jaim (jaga image)

"Oh.." Arun tak ambil pusing dan berjalan mengambil alat pelnya.

"Awas jangan lewat situ !" peringat Gara namun terlambat.

Arun sudah terpeleset dan jatuh terjerembab ke depan. Tepat menuju Gara. Dengan refleks Gara menerima tubuh itu dan mendaratkan tangannya di punggung Arun.

Dug ! Suara kepala Gara yang terbentur lantai terdengar.

"Aduuh..." rintih Gara.

"Maaf mas. Aduuh pasti sakit" Arun refleks mengusap kepala belakang Gara. Dia belum menyadari kalau posisinya sekarang sedang asik menindih Gara.

"Gak papa kok cuma sedikit" jawab Gara menikmati momen tersebut.

Arun yang baru menyadari posisinya tiba-tiba speechless. Dia tidak pernah sedekat ini dengan cowok. Mereka terlihat sedang berpelukan dalam posisi tidur. Kedua jantung di balik dada itu saling bersahutan. Berlomba-lomba menjadi yang tercepat. Mereka berpandangan dalam diam. Tak kuasa untuk bicara.

"A-anu..maaf mas. Nggak sengaja" ucap Arun sambil mencoba bangun.

Dengan cepat Gara menariknya. Mengembalikan Arun ke posisi mereka semula.

"Sebentar saja"pinta Gara lantas mengeratkan tangannya melingkari tubuh Arun.

Kenapa tiba-tiba mas Gara begini ? Bukankah dia berjanji tidak akan melakukan apapun padanya ? Meski begitu, Arun diam tak bereaksi dan menurutinya.

"Arun ?" panggil Gara lembut.

"Hmm" Arun berdehem di atas dada bidang itu. Kini terdengar jelas detak jantung Gara.

"Bolehkan kalau aku manggil kamu sayang ?"

Sayang ? Jadi dirinya tadi memang tidak salah dengar. Apakah mas Gara telah memiliki perasaan padaku ? Tapi sejak kapan ?

"Ke-kenapa begitu ?" tanya Arun gugup.

"Kenapa ?" ulang Gara.

"Karena aku sayang kamu. Mau apalagi ?" jawab Gara jujur.

Gara sama sekali tidak merencanakan momen tersebut. Terlebih lagi mengungkapkan perasaannya dalam kondisi seperti ini. Plisss Arun jawab, jangan diem aja.

Mas Gara sayang sama aku ? Kok bisa ?
Arun bingung. Jujur selama mereka tinggal berdua, banyak perasaan baru yang Arun rasakan. Namun dia tidak yakin apakah itu rasa suka, sayang, ataupun cinta. Arun tak keberatan dengan itu malahan ikut menikmatinya.

"Bolehkan ?"

Gara merasakan sebuah anggukan. Yang tanpa Arun sadari telah dilakukannya secara spontan.

Sailing With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang