40. Malu tapi Mau

1.3K 108 0
                                    

Arun mengerjap bangun dari tidur. Dia mengambil ponsel di meja sebelah ranjang, hampir pukul dua siang. Dia merasakan beban di perutnya. Sebuah tangan memeluknya dari belakang. Gara tertidur, lengkap berpenampilan ala santriwan habis pulang jamaah dari masjid sedangkan dirinya begitu polos tanpa sehelai benang, hanya berlindung dibalik selimut. Eeeh malah ketiduran, aku nggak dibangunin. Arun tahu Gara pasti lelah, walaupun tidak selelah dirinya. Masih dengan selimut yang sama, ia menuju kamar mandi setelah mengambil baju ganti.

Ya Allah sakit, masih kerasa banget. Semoga jadi ibadah yang berpahala.

Arun sedikit kesusahan berjalan. Sambil meringis dia meneruskan langkahnya. Di dalam kamar mandi, dia mengamati tubuh polosnya itu di depan cermin. Alangkah terkejutnya dia karena menemukan banyak tanda. Cinderamata dari Gara. Di leher, dada, pundak, punggung, paha, hampir di semua tempat yang notabenenya tak pernah terjamah, kini semua area sudah tidak perawan lagi.

Pria memang mengerikan, pasti mas Gara balas dendam karena selama ini selalu menahan diri.

###

"Sayang ?" panggil Gara di sela-sela makan malam.

"Iya ?" jawab Arun tanpa menoleh.

Setelah apa yang terjadi tadi pagi hingga menjelang siang, Arun belum berani menghadapi suaminya. Tidak berani menatapnya secara langsung dan selalu menghindar.

"Kamu kenapa ? kok gitu"

"Gitu gimana ?" tanya balik Arun mencoba biasa.

"Kamu menyesal kita melakukannya ?"

"Hah ?" Arun spontan menatap Gara. Lalu mengalihkan pandangannya.

"Kamu marah sama aku ?" tanya Gara berhati-hati.

Apa aku tadi keterlaluan ? kelewat senang sampai lupa diri nggak nyeimbangin kondisi Arun ? Gara merasa tidak enak hati meskipun dia tahu kalau serangannya tadi sudah mendapatkan consent dari istrinya.

"Nggak kok. Aku nggak papa" jawab Arun masih tanpa memandang Gara.

"Kalau nggak papa, kenapa kamu ngehindarin aku ?" tanya Gara.

"Perasaan mas aja kali"

"Maaf, aku jadi buas hari ini. Masih sakit ?" Gara khawatir tapi tidak menyesal.

"Sakit sih. Tapi nggak papa, bisa ditahan"

"Sayang ?"

"Iya ?"

"Lihat aku dong, sejak tadi kamu nggak mau mandang aku. Kamu marah beneran kan ?"

"Enggak, aku nggak marah" respon Arun masih tanpa memandang Gara.

"Bohong"

"Enggak mas"

"Sini lihat" pinta Gara.

"Nggak mau"

"Kenapa ? udah bosen lihat aku ?"

"Mana mungkin"

"Lha terus kenapa ?"

"Udah dong mas, peka dikit napa"

"Eh.. ?" Gara bertanya-tanya. Memang, Arun tidak terlihat marah, ucapannya pun biasa saja tanpa ada nada kesal. Lantas kenapa dia tidak mau memandangnya ?

Arun bangkit dari duduknya sambil membereskan piring kotor. Ia berjalan ke dapur sambil tertatih. Gara yang melihat itu langsung bergerak cepat dan meraih tubuh istrinya. Merebut piring-piring kotor itu, meletakkannya di kitchen-sink dan beralih menggendong tubuh Arun layaknya pengantin baru.

"Mas turunin aku, kamu kenapa sih ?" Arun menendang-nendang udara meminta di turunkan.

Gara tak menanggapinya dan malah membawa Arun ke kamar. Merebahkannya di atas bedcover dan mengunci tubuh Arun dengan menindihnya. Arun tak berkutik. Gara yang menatapnya begitu intens membuat Arun langsung menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Benar-benar makhluk tidak peka !

"Masih belum mau mandang aku ?"

"Mas udah dong, jangan maksa gini" ucap Arun dengan wajah tersembunyi.

"Kamu kenapa sih ? bilang sama aku"

Mana mungkin aku bilang. Pasti mas Gara ngakak dan semakin menjadi.

"Cerita atau aku perkosa !" ancam Gara dengan suara pelan penuh hasrat.

Apa ! perkosa ? baru mendengarnya saja Arun ingin pingsan. Rasa lelah dan ehem, tentu saja enak ( malah keenakan ) yang tadi ia rasakan masih saja terbayang-bayang. Kini Gara ingin melakukannya lagi ? Please bang, Hayati lelah bang.

"Arun" panggil Gara serius karena belum juga mendapatkan respon.

"Malu mas, aku salah tingkah. Udah dong" jawab Arun setengah berteriak. Gara melongo.

"Mas jangan gini. Aku berdebar seratus kali lebih cepat dari yang biasanya, karena yang tadi kebayang terus. Aku nggak bisa bersikap normal lagi ngadepin mas" Arun benar-benar malu dan kini ia mengakui hal yang sangat memalukan hingga membuat dirinya tidak tahu malu.

"Astagaaaa" ujar Gara lega.

"Kasih aku waktu sendiri biar tenang dulu. Aku benar-benar salah tingkah kalau liat mas"

Gara bingung harus berkata apa. Dia heran benar-benar heran, ternyata ada spesies wanita seperti istrinya ini di bumi.

Oh, ternyata cuma malu toh, untung nggak marah terus ngambek. Kan bahaya gak bisa dapet jatah lagi.

"Kamu pengen tahu cara ampuh biar nggak malu dan salting lagi ?"

"Apa ?" tanya Arun sambil mengintip di antara jari-jarinya.

"Sering-sering diulangi, biar jadi kebiasaan. Mau coba lagi sekarang ?" Gara antusias.

Arun bermuka masam, ia mendorong tubuh Gara agar tidak lagi menindihnya.

"Maaf anda belum beruntung. Silahkan coba lain kali" jawabnya kecut.

"Yakin ? aku masih kuat lho"

"Mas, please. Tulang aku rasanya udah patah semua, masih sakit semua meskipun tadi itu menyenangkan. Pokoknya harus nunggu aku sembuh dulu. Ini aja jalan masih belum bener udah minta lagi"

Gara tersenyum melihat Arun sudah menjadi bawel kembali. Dia memang bermaksud menggoda. Tapi jika Arun mengiyakan, Gara tidak akan menolaknya. Dia siap kapan saja untuk memuaskan istrinya.

"Nah gitu dong, istri sholehahku sudah cerewet lagi. Ya udah kamu istirahat aja. Biar aku yang beresin sisa makan tadi."

Gara meninggalkan kamar setelah berhasil mencuri kecupan singkat di bibir Arun.Jantung Arun yang hampir berdetak normal, kini menjadi tak terkendali.

Apa gini ya kalau udah pernah melakukan sekali, bawaanya mikir mesum melulu.

Arun akui bahwa kenikmatan yang pertama kali ia rasakan tadi sudah berubah menjadi candu. Kalau kondisi tubuhnya baik-baik saja dia pasti menyetujui ajakan Gara. Walaupun sebenarnya sangat malu, tapi jujur dia mau. Arun berguling-guling di kasur dengan wajah bersemu. Demi apapun, dia terus terbayang Gara yang begitu menawan saat tadi bermain garang tanpa satupun pakaian.

Sailing With You [END]Where stories live. Discover now