20. Persiapan Serangan

1.2K 124 0
                                    

Dengan motor matic biasa, Satria mengantar Shofi menuju alamat kosnya. Hujan masih deras. Meski sudah basah kuyub di parkiran, mereka tak mau ambil resiko berkendara malam sambil hujan-hujanan tanpa memakai jas hujan.

Bodohnya, Shofi tidak menggunakan jas hujan miliknya sendiri yang tertinggal di motor. Dia terpaksa duduk sangat dekat di belakang Satria, karena jas hujan miliknya model kelelawar. Berbeda dengan Shofi, Satria justru menikmati momen itu penuh penghayatan. Dia senyum-senyum sendiri selama berekendara. Hatinya begitu bahagia saat orang yang disukainya sejak lama, duduk di belakangnya, sambil berpegangan erat pada tubuhnya.

“Ini kosan lo ?” tanya Satria memastikan. Shofi mengintip dari balik jas hujan.

“Iya.” Shofi bergegas turun. “Makasih” ucapnya. Dia berniat masuk namun Satria menahan tangannya.

“Kenapa ?” tanya Shofi karena langkahnya dihentikan.

“Besok nggak usah masuk dulu. Ntar gue kabarin perkembangan kasusnya” ucap Satria perhatian.

“Kenapa gitu ?” Shofi tidak paham. Satria berdecak.

“Lo juga termasuk korban. Biar gue sama mas yang tadi kasih kesaksian dulu. Ntar gue kabarin lagi kalau ada tindak lanjutnya”

“Bukannya gue juga perlu kasih kesaksian ya ?”

“Nih orang keras kepala banget sih dibilangin. Serah lo deh” Satria hilang kesabaran.

Shofi justru tersenyum melihat wajah kesal itu.

“Iya-iya, gue juga paham. Badan gue juga sakit semua. Mana sanggup gue kerja besok pagi”

“Lo tadi diapain ?!” Satria turun dari motornya membolak-balik tubuh Shofi untuk mengeceknya. Namun tidak ditemukan luka memar di tangan, lengan maupun wajahnya.

“Perut gue tadi kesikut berkali-kali. Pasti memar, nyeri banget soalnya” jelas Shofi.

Dengan refleks Satria hendak menyingkap baju Shofi agar perutnya kelihatan.

Plaaaakkk... Shofi memukul helm Satria.

“LO MAU NGAPAIN BAMBANG ?!”

“Eh..Sorry refleks. Hehe” jawabnya cengengesan.

“Kurang ajar, bisa-bisanya modusin gue di kondisi kayak gini”

“Iya deh, gue pending modusnya nunggu situasi kondusif dulu”

Shofi melongo. Tak menyangka dengan jawaban itu. Gue yang salah bicara atau dia yang terlalu pinter ngejawabnya ?

“Sono balik, ntar masuk angin kelamaan hujan-hujanan”

“Iya beb. Care banget sih. Buruan masuk jangan lupa minum yang anget-anget” ucap Satria lalu pergi dari sana.

What the Hell ! Shofi kehabisan akal menghadapi satu jenis cowok itu. Bagaimanapun juga dia berterimakasih karena Satria menolongnya di situasi genting tadi. Jika terlambat sedikit saja, entah apa yang akan terjadi pada Arun dan dirinya. Shofi membersihkan dirinya yang basah kuyub. Sesuai saran yang diucapkan Satria, dia membuat minuman hangat untuk menghangatkan diri.

Nyeri ngilu di perutnya akibat sikutan Jefri meninggalkan bekas memar hingga berwarna kebiruan. Shofi yang biasanya tak peduli karena dihujat, tentu saja kali ini tak terima karena sudah melampaui batas sabarnya. Terlebih lagi sahabatnya yang menjadi sasaran. Dia mencari ponselnya untuk menghubungi nomor seseorang. Nomor yang biasa dia hubungi dikala rindu, tapi untuk sekarang sudah beda urusan.

###

Arun bangkit dari kasur di saat Gara sudah berangkat kerja. Dia absen, tidak membuatkan Gara sarapan karena terlalu malu dengan apa yang sudah dia alami semalam. Untung saja Gara paham dan malah menyuruhnya tidur lagi agar bisa beristirahat menenangkan diri. Arun bercermin sambil membuka sedikit bajunya. Terlihat beberapa bekas kemerahan di lehernya, gigitan cinta.

Nggak nyangka, ternyata mas Gara bisa ganas juga. Pasti malam pertama nanti bakal lebih ganas dari ini.

Arun tersenyum malu membayangkannya. Hal itulah yang membuat dia tidak sanggup untuk berhadapan dengan sang suami. Arun beraktivitas seperti biasa saat liburan di rumah. Dia melihat stok sayuran apa saja yang ada di kulkas dan bersiap memasak.

Arun menikmati sarapannya, hasil masakan sendiri. Rasanya aneh makan sendirian karena sudah terbiasa makan bersama Gara. Notif panggilan masuk terdengar. Arun melihat ponselnya. Shofi. Dia ragu hendak mengangkat panggilan itu. Kejadian di parkiran semalam teringat lagi di kepalanya. Semua hampir terbongkar karena ucapan Jefri yang menuduh dirinya ada main bersama Gara dan menuduh Shofi sebagai simpanan Fahmi.

“Halo, Shof” sapa Arun.

“Halo Ka. Gimana keadaan lo ? gue hari ini nggak masuk, sorry tadi malem nggak ngabarin”

“Iya gue juga nggak masuk. Gue udah baikan kok. Lo sendiri gimana ?” tanya balik Arun.

“Cuma memar di perut. Mayan ngilu sih”

Hening..

“Anu..” ucap Shofi dan Arun bersamaan.

“Kenapa ?” tanya Arun.

“Nggak lo dulu aja”

“Sorry, lo kayak gitu karena berusaha nolongin gue” ucap Arun menyesal. Ia membiarkan dirinya melupakan kebenciannya sejenak. Bersikap manusiawi atas kebaikan Shofi.

“Yang penting lo nggak papa” jawab Shofi.

“Tadi lo mau ngomong apa ?” Arun mengingatkan.

“Gue keinget ucapan Jefri semalem. Gue yakin pasti itu cuma salah paham. Lo keberatan nyeritain yang sebenarnya ke gue ?” tanya Shofi berhati-hati.

Arun merasa malu pada dirinya sendiri. Shofi masih bisa berfikir logis dan positive thinking menganggap tuduhan kejam itu sebagai salah paham. Dia berani menanyakan langsung meminta penjelasan, sedangkan dirinya ? dengan semena-mena menuduh Shofi hanya karena melihat satu kejadian itu yang belum tentu membenarkan asumsinya. Dia terlanjur dibutakan oleh dendam dan kebencian terhadap pelakor.

Nggak masalahkan kalau aku cerita ke Shofi ? toh mas Gara juga udah terlanjur ketahuan sama satu temannya. Satu-satu. Hasilnya seri.

“Sebenarnya...” Arun sudah bulat akan menceritakan rahasianya.

Sailing With You [END]Where stories live. Discover now