30. Confetti

1.1K 113 0
                                    

Gara mengetuk pintu yang terkunci. Bukannya Arun di rumah ? Gara memanggil-manggil Arun namun tak ada jawaban. Akhirnya dia membuka pintu dengan kunci cadangan. Dia memasuki rumah yang dalam keadaan gelap gulita. Karena tadi masih mampir, Gara sampai rumah menjelang isya’. Gara menyalakan semua saklar hingga semua lampu di dalam rumah dan di teras menyala terang. Dia masih mencari keberadaan istrinya.

Aneh, biasanya dia selalu standby nyambut aku di ruang tamu.

“Arun ? kamu dimana ?” tanya Gara was-was. Dia menuju kamarnya. Tidak ada.

Dari kejauhan, terlihat pintu kamar mandi terbuka lebar dan di dalamnya masih gelap. Gara berniat menyalakan lampu kamar mandi, namun saat melintas di depan kamar belajar (dulu adalah kamar tidur Arun tapi sekarang menjadi kamar belajar dan ruang kerja Gara), dia mendengar suara isak tangis wanita. Gara merinding, rasanya sedang ikut acara uji nyali.

“Arun ? sayang ? kamu di dalem ?” tanya Gara mencoba membuka pintu, tapi ternyata dikunci.

Suara tangis semakin terdengar. Gara yakin itu adalah suara istrinya. Arun nangis ?

“Arun ? kamu kenapa ? kamu lagi nangis ?” Gara panik.

“Aku lagi pengen sendiri dulu. Tolong mas ngerti” ucap Arun parau.

“Buka pintunya Arun. Kamu kenapa ?” Gara menggerak-gerakkan gagang pintu.

“Aku lagi pengen nenangin diri dulu. Mas jangan ganggu aku” jawab Arun.

“Iya, tapi buka pintunya dulu. Kamu kenapa nangis ? kamu sakit ?”

“Iya. Hati aku sakit mas. Tolong jangan buat aku lebih sakit lagi” tangisan Arun pecah.

“Aku minta maaf kalau ada salah. Tapi please buka dulu pintunya. Kita bicarain baik-baik ya”

“Mas udah bosen kan sama aku ? mas ada main di belakang aku kan ? siapa cewek yang mas temuin ? apa dia Nora yang waktu itu pergi dinas bareng mas Gara ?”

“Astaga. Arun kamu salah paham. Tolong buka pintunya. Nggak enak ngomong kayak gini”

“Enggak ! aku belum siap ketemu mas Gara.” tolak Arun.

“Pliiss Arun. Kamu dengerin aku dulu”

Kenapa malah jadi begini ? Gara panik. Dia berharap mampu mendobrak pintu itu tapi takut melukai Arun yang mungkin tepat berada di belakang pintu.

“Mas cuma sayang kamu, oke ? nggak ada yang lain. Kamu harus percaya” bujuk Gara.

“Kenapa mas sayang aku ? aku nggak pernah beri mas Gara apapun. Aku nggak secantik wanita yang mas Gara temui . Aku juga belum menuhin kewajibanku sebagai istri yang baik.”

“Arun, denger aku. Aku nggak peduli kamu ngomong apa. Tapi tolong buka dulu pintunya. Nggak ada yang lain yang bisa buat aku sekhawatir ini. Jangan mengunci diri di kamar, ayo keluar dulu kita bicara baik-baik” bujuk Gara.

“Mas janji akan jawab jujur apapun pertanyaan kamu.” bujuk Gara tidak menyerah.

“Janji nggak bakal bohong ?” tanya Arun sesenggukan. Gara tersenyum karena sepertinya Arun sudah terpancing.

“Iya janji” jawab Gara yakin.

“Aku boleh tanya apapun ?” Arun memastikan.

“Iya. APAPUN itu. Semua aib aku bakal aku ceritain kalau memang kamu penasaran”

Ceklek. Suara kunci terbuka. Perasaan Gara semakin was-was. Arun muncul dari kegelapan kamar dengan mata merah sembab, hidung berair, dan basah di pipinya masih belum kering. Gara yang merasa lega, langsung memeluk Arun begitu ia melangkah keluar kamar.

Sailing With You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang