59. Resignation

1.8K 105 0
                                    

Dua orang sedang berbincang serius di dalam ruang kantor.

"Kenapa ? Padahal dulu betah-betah aja disini walaupun kena kasus"

"Kakek butuh saya, Pak" jawab Gara.

Tatapan menyelidik dari Yono membuat Gara buka mulut lagi karena atasannya itu masih belum puas dengan alasan yang ia berikan.

"Saya dan istri diminta untuk meneruskan usaha kakek disana. Jadi kami harus pindah juga"

"Usaha ? Usaha apa ?"

Gara tidak ingin menjelaskan, namun jika alasannya setengah-setengah Yono tidak akan melepaskannya begitu saja.

"Usaha biasa kok pak. Jasa distribusi barang"

Gara berbohong, mana mungkin usaha terminal peti kemas dari kapal yang berlabuh adalah usaha biasa.

"Padahal saya kira setelah Nika lulus, dia akan ikut bekerja disini. Ternyata..."

Yono menarik napas dalam. Ia tak rela salah satu karyawan yang sangat akrab dengannya hendak pergi.

"Ngomong-ngomong soal Nika, sekali lagi saya sangat berterima kasih karena sudah membantu saya waktu itu" ujar Gara.

Ingatan Yono memproses negosiasi yang dulu pernah mereka lakukan.

***

"Tolong pak, bantu saya. Anak-anak magang disana bisa jadi sasaran Jefri selanjutnya"

"Saya bisa apa ? Kalau kamu bilang jauh-jauh hari bisa saya bantu urus"

"Saya juga baru tahu sekarang, pak. Dia sudah ngirim lamaran OJT setahun yang lalu"

"Kenapa kamu ngotot begitu. Memangnya dia pacar kamu ?"

"Bukan"

"Ya sudahlah biarkan saja"

"Dia istri saya pak" jelas Gara.

"Hahaha...." Yono tertawa dengan candaan Gara.

"Serius pak"

Gara mengeluarkan ponselnya lalu memperlihatkan sesuatu. Wajah Yono terkejut setengah mati saat Gara menunjukkan foto pernikahannya.

"Kamu jangan bercanda !" ucap Yono dengan nada tak percaya.

"Saya tidak main-main. Saya harap bapak menuruti permintaan saya." jawab Gara.

"Dasar bocah kurang ajar. Awas kalau kamu macam-macam" peringat Yono.

"Nggak papa dong pak, macam-macam sama istri sendiri" ujar Gara cengengesan.

"Kapan itu ? Kenapa nggak undang-undang saya."

"Hampir setengah tahun yang lalu. Cuma dihadiri oleh keluarga saja pak. Nggak resepsi besar"

"Tolong ya pak, cuma bapak yang bisa bantu saya. Sebagi gantinya, saya siap jadi supir pribadi bapak deh. Kalau bapak pergi dinas luar kota, biar saya yang nyetir. Gratiss. Gimana ?" tawar Gara menggiurkan.

Yono tampak berpikir. Sepertinya boleh juga.

"Baiklah. Akan saya usahakan" jawab Yono.

Dengan wajah berseri Gara keluar dari ruang kerja atasannya.

***

"Hahaha....konyol sekali. Baiklah, saya terima surat pengunduran diri kamu. Mungkin seminggu lagi proses selesai. Sampai saat itu tiba kamu harus tetap masuk kerja" ucap Yono.

"Siap. Jangan kasih saya lemburan loh pak. Saya sibuk mengurus pindahan rumah" kata Gara dengan tawa.

"Mau pergi, kurang ajarnya nggak pernah hilang. Sana keluar" usir Yono.

"Kalau begitu saya permisi"

Yono menyayangkan pengunduran diri Gara, berkatnya kerinduan pada anak laki-lakinya yang meninggal akibat kecelakaan sedikit terobati. Apalagi saat Gara menemaninya ketika dinas ke luar kota, mereka berdua semakin akrab layaknya anak dan bapak yang menghabiskan waktu bersama. Biro pasti sepi kalau bocah itu nggak ada.

###

"Semua urusan di kantor udah beres ?" tanya Arun.

"Iya. Kemaren mas juga udah pamitan sama semuanya" jawab Gara.

Mereka berdua sibuk menata barang-barang yang hendak di bawa pindahan. Gara bersyukur karena rencana untuk membeli rumah yang ia tinggali belum terlaksana. Beberapa tahun ia hanya memperpanjang kontrak saja. Gara dan Arun akan pindah, tinggal bersama Adi. Mereka tidak akan kembali ke kota tersebut.

"Mas beneran udah menghubungi layanan jasa pengirim buat ngambil semua barang-barang ini ?"

Arun melihat ada beberapa koper dan tas serta kardus-kardus yang terisi penuh barang dan pakaian mereka.

"Iya tenang aja, besok pagi pasti datang" ucap Gara santai.

"Hmm...sayang"

Arun beralih fokus memandang suaminya. "Kenapa ?"

"Kamu yakin dengan pilihan ini ? Kamu nggak keberatan lanjut S2 bidang manajemen buat bantu kerja di tempat kakek ?"

Sejujurnya Gara tidak yakin. Kehidupan mereka disini bisa dibilang sudah cukup baik dan terkendali secara mandiri. Ia ragu apakah tidak masalah jika dirinya menerima penawaran Adi untuk meneruskan usaha besarnya itu. Padahal dia bukan siapa-siapa yang tidak berhak menerima warisan apapun dari keluarga angkatnya.

"Aku sih nggak masalah. Aku kasian lihat kakek kesepian disana. Andai kakek orang biasa, aku seneng banget kalau misal kakek ikut tinggal disini bareng kita"

Yaa benar, sayangnya kakek luar biasa.

"Terus mas sendiri gimana ? Yakin mau belajar ngemudi crane ? Bukannya besar banget ya apa nggak susah tuh. Kenapa nggak ikut manajemen proyek aja biar di kantor sama aku"

"Nggak cuma crane, ada forklift sama reach stacker juga. Kalau itu aku yakin. Soalnya emang dari dulu mas pengen jadi operator disana. Meskipun nanti jadi pengawas, tapi aku harus bisa. Masa cuma nyuruh aja"

"Kalau udah ada niat, kenapa nggak dari dulu ?"

"Hehe... coba usaha sendiri. Biar mandiri. Nggak enak ngikut orang dalam"

"Sekarang kok mau ?" goda Arun.

"Kan demi kamu. Demi kakek. Demi keluarga kita ke depannya. Dulu mas masih labil, belum banyak pertimbangan. Melakukan semuanya spontanitas. Beda dengan sekarang. Karena kamu, aku jadi stabil"

"Bisa aja. Berarti mas bakal sibuk ngurus SIM dan SIO dong"

Gara mengangguk. Mereka berharap pilihan ini adalah yang terbaik.

"Lhooh mas, HP-ku mana ya. Tadi kayaknya disini" Arun kebingungan mencari ponselnya. Gara ikut membantu. Belum juga ketemu, sudah terdesak panggilan alam.

"Bentar, aku kebelet. Tolong cariin, buat beli makan siang online nanti" pinta Arun lanjut berlari menuju kamar mandi.

Suara bel terdengar.

"Biar aku aja" ucap Arun keluar KM, menghentikan langkah Gara yang sudah berdiri di depan kamar.

Gara meraih tangan Arun. Mencuri ciuman di bibir milik wanitanya. Arun mengerjap.

"Iiih...mas Gara. Ada tamu, nanti kan bisa"

Arun mendorong tubuh Gara. Namun Gara malah memeluknya erat.

"Gemesnya sekarang" ucapnya sambil mengecup lagi. Terpaksa dilepasnya Arun dengan tidak ikhlas. Ganggu aja, siapa sih.

Arun kabur ke depan untuk membukakan pintu. Dari balik jendela kaca yang terbuka lebar tanpa terhalang oleh tirai, ia melihat dua mobil terparkir di halaman. Bunyi bel terdengar lagi.

"Iya sebentar" sahut Arun. Diputarnya kunci berlawanan arah jarum jam.

Ceklek.. pintu terbuka. Arun terbelalak. Ia terkejut dengan apa yang dilihatnya. Tiga pria dewasa berpakaian rapi sedang menatapnya tersenyum.

"Halo sayang" sapa mereka serentak.

"MAS GARAAAAAA" teriak Arun histeris.

~TAMAT~

Sailing With You [END]Where stories live. Discover now