33. Siuman

1K 103 0
                                    

Arun masih tak henti-hentinya menangis. Selama di pesawat hingga kini di depan ruang tunggu operasi, Arun masih saja sesenggukan meski tidak ada lagi air mata yang keluar. Setelah sekian lama, akhirnya Arun bertemu lagi dengan sanak saudara keluarga papanya.

Dulu Amira pernah mencoba mendatangi alamat rumah mertua untuk mencari keberadaan suaminya, namun ternyata keluarga tersebut sudah pindah. Semua kontak nomor yang dapat dihubungi juga tidak ada yang aktif, hingga akhirnya Amira tak pernah bertemu lagi dengan suaminya hingga maut menjemput. Kini Arun meneruskan perjuangan mamanya.

Selama ini walau mereka berjauhan dan tak saling bertemu, Arun menganggap bahwa papanya masih hidup dan itu sudah cukup bagi Arun karena entah kapan pasti mereka akan bertemu lagi. Tapi mendengar kabar yang mengejutkan ini, Arun sama sekali tidak terima. Kenapa baru sekarang ?

“Kita berdoa saja ya, pasti operasinya berjalan lancar” ucap wanita paruh baya yang tak lain adalah bu dhe Arun.

Setelah berjam-jam menunggu, akhirnya para dokter dan perawat keluar. Arun bernafas lega setelah dokter mengatakan bahwa operasinya berhasil. Mereka memberikan Arun kesempatan untuk menjaga papanya yang masih belum siuman. Ia hanya menunggui sosok yang terbaring lemah itu dengan tatapan sayu. Sementara itu, Gara beserta pak dhe dan bu dhe Arun duduk mengobrol di luar.

“Kami sebenarnya sudah membujuk Setya sejak lama, agar menghubungi keluarganya” buka Bayu, kakak pertama Setya.

“Dia bersikeras menolak karena merasa bersalah dengan Amira dan anaknya. Bahkan saat Amira meninggal pun dia tidak berani datang kesana” tambah Nirmala, adik Bayu.

“Saya sudah mencoba mengabari Nika melalui Salma, tapi selama ini tidak pernah ada kabar. Saya tidak tahu apakah Nika memang tidak ingin lagi menemui Setya, atau Salma yang tidak memberitahunya” ungkap Bayu.

Gara tidak tahu dengan fakta itu, pasalnya selama ini Arun tidak pernah bercerita ingin menemui papanya atau tidak.

“Kalau boleh saya tahu, om Setya sudah sakit sejak kapan ?” tanya Gara canggung.

Om ? bukankah seharusnya aku ikutan manggil papa ?

“Sejak dia berpisah dengan istrinya.” jawab Nirmala.

“Apakah om menikah lagi ?” tanya Gara sungkan. Bayu dan Nirmala menggeleng bersamaan.

“Ngomong-ngomong siapa namanya, nak ?” tanya Bayu.

“Saya Gara, maaf karena tidak sopan sampai lupa diri” tutur Gara.

“Saya Bayu kakak tertua Setya, dan ini Nirmala” Bayu mengenalkan dirinya dan adiknya.

“Nak Gara ini, saudara sepupunya Nika ? anaknya Salma ?” tanya Nirmala.

“Wah sudah sebesar ini ya” sahut Bayu.

“Anu, bukan..” Gara bingung menjawabnya. Apakah tidak masalah jika ia menjelaskan statusnya dengan jujur dikondisi seperti ini.

“Saya suaminya Arun.” jawab Gara demi menghindari kesalahpahaman.

“Su-suami ?” tanya mereka berdua tidak percaya.

Sambil mengobrol, Gara menjelaskan perihal perjodohan pernikahannya. Hari menjelang petang, Nirmala pulang setelah suami dan anaknya datang menjemput dari pulang kerja. Mereka juga berbincang sejenak dengan Gara dan Arun.Sedangkan Bayu dan istrinya masih disana ikut menemani.

“Kalian istirahat saja, ayo pulang ke rumah bu dhe. Biar pak dhe yang jaga. Besok pagi kita kesini lagi” tawar Reta, istri Bayu kepada Arun dan Gara.

Gara melirik Arun. Ia tahu Arun tidak mau, namun dia sungkan untuk menolaknya.

“Nggak papa bu dhe, biar kami berdua saja yang disini. Bukannya besok pak dhe juga harus kerja ?” Gara beralasan.

“Kalian apa nggak capek habis perjalanan ?” tanya Bayu.

Alhamdulillah, energi muda masih bisa diandalkan” canda Gara.

“Kalian yakin ?” tanya Reta lagi. Arun mengangguk.

Ia tak mau menyiakan kesempatan sedetikpun untuk menunggu Setya siuman, takut jika papanya akan pergi begitu saja seperti mamanya dulu. Walaupun keadaanya sudah mulai membaik pasca operasi.

“Ya sudah, kalau capek tidur aja. Jangan dipaksa begadang. Kita pamit dulu” ujar Bayu sambil menepuk bahu Gara.

“Kalau ada apa-apa kabarin bu dhe secepatnya.” ucap Reta sambil memeluk Arun. Mereka tadi sudah saling bertukar kontak telepon.

“Iya bu dhe” jawab Arun.

Gara dan Arun masuk kembali ke kamar. Disana ada satu ranjang kosong yang bisa digunakan Arun, sedangkan Gara akan tidur di sofa.

“Maaf ya mas, mas Gara harus bolos kerja karena aku” sesal Arun.

“Sssttt...nggak boleh gitu. Papa kamu papa aku juga. Keluarga lebih penting dari apapun”

Gara memegangi bahu Arun. Ia memeluknya dari samping. Lantas mengecup pelipisnya mesra. Bagi Arun, kecupan dan pelukan Gara adalah bentuk energi tambahan yang selalu membuatnya merasa tenang, nyaman, dan aman.

“Kamu tidur aja. Biar mas yang jaga. Bukannya tadi dokter udah bilang, efek obat biusnya bisa sampai besok pagi” ingat Gara.

“Tapi aku-“ sanggah Arun terhenti.

“Sayang, nurut ya. Aku tahu tubuh dan pikiran kamu capek” paksa Gara. Ia menuntun Arun ke ranjang sebelah. Arun menurutinya meski enggan.

###

“Pa, Arunika disini. Kapan papa bangun ? katanya kangen sama aku. Arun juga kangen papa” ucap Arun lirih sambil menggenggam lembut tangan lemah milik Setya.

Gara pergi keluar untuk membeli sarapan, Arun di kamar seorang diri menjaga papanya bangun. Arun meneliti wajah Setya yang sudah lama tak ia lihat. Tidak jauh berbeda dengan yang dulu. Entah kenapa Arun melihat kesedihan yang begitu dalam dari wajah yang terbaring itu.

Arun beranjak ke kamar mandi. Ia ingin membersihkan wajahnya yang terlihat kusam. Bagaimanapun juga, penampilan seorang istri harus ia jaga di depan suami. Tidak begitu lama, Arun kembali ke ranjang milik Setya. Dirapikan sprei dan selimut itu sedemikian rupa agar enak di pandang mata.

“Pa-pa...” Arun tidak bisa menahan tangisnya begitu melihat sepasang mata terbuka memandanginya dalam diam.

Arun mendekat dan memeluk tubuh Setya yang masih terbaring lemah. Bibir Setya berkomat-kamit hendak menyampaikan sesuatu.

“Papa tenang aja. Arun masih disini kok. Papa harus pulih dulu ya” ucap Arun.

Setya masih berusaha agar bisa mengeluarkan suara.

“Aku panggilin dokter sebentar, biar ngecek kondisi papa” pamit Arun, namun tanganya ditahan. Setya tidak rela membiarkan Arun pergi.

“Bentar pa, di luar situ” tunjuk Arun. Bibir Setya masih gigih bergerak meski tidak ada suara terdengar. Lalu Arun mendekatkan telinganya di wajah Setya.

“Ma-af. Hh...Pa-pa. Hhh... min-ta ma-af” ucap Setya sangat lirih dengan napas dipaksakan.

“Iya, pa. Nanti kita bicarain lagi ya. Papa harus sembuh dulu” jawab Arun berurai air mata.

Sailing With You [END]Where stories live. Discover now