8. The Last Memory

1.5K 135 0
                                    

Arun mengerjap tak percaya. Apakah aku berhak bilang begitu pada mas Gara ? melarangnya selingkuh. Selama ini aku belum mampu membalas perasaan mas Gara. Panggilan sayangnya, perlakuan manisnya. Apakah aku terlalu serakah ? belum mencintainya tapi melarangnya mencintai orang lain.

Dilepaskannya cincin yang tersemat di jari manis itu. Terukir nama Kanigara. Arun merebahkan dirinya di kamar milik mamanya dulu. Padahal Salma sudah mengajaknya untuk menginap di rumahnya saja, tapi Arun bersikeras untuk tidur di rumah sendiri.

Arun bangkit, mengamati jejeran foto di kamar milik Amira. Dia sangat ingin melepaskan semua bingkai yang terpasang itu. Apalagi kalau bukan karena terdapat wajah lelaki yang sangat dibencinya, sang papa. Dia ingat betul hari dimana seorang wanita asing bertamu ke rumahnya.

Dengan tidak tahu malu mengenalkan dirinya sebagai wanita simpanan papanya dan menyerahkan surat cerai pada Amira. Memaksa Amira untuk menandatanganinya. Arun murka karena bukan papanya sendiri yang menyelesaikan urusan itu melainkan harus menyuruh jalang yang tidak tahu diri. Sejak itu tak terdengar lagi kabar lelaki berengsek yang sudah membuat dia dan Amira sakit hati. Pasti dia sudah hidup bahagia dengan selingkuhannya.

***

“Mama istirahat ya, biar Arun sama tante aja yang ngurus butik” Arun tak tega melihat mamanya yang terlihat lelah masih melanjutkan kerja menuntaskan laporan supply barang.

“Gak papa sayang, mama nggak capek kok” jawab Amira.

Arun tahu semua hal yang dilakukan oleh mamanya adalah upaya menyibukkan diri untuk tidak mengingat lagi sang suami. Tapi sudah hampir tiga tahun berlalu. Semua kesibukan itu seolah melemahkan tubuh Amira dan membuatnya semakin terlihat rapuh.

Benar saja. Darah segar itu mengalir keluar dari hidung Amira lalu ia hilang kesadaran. Arun panik.

“Ma ? mama ?” Arun menepuk-nepuk pipi Amira.

“Tanteee !!!! tolongin mama !!!!” teriak Arun sambil terisak dari lantai dua butik.

“Kenapa Nika ? ada apa ?” tanya Salma setelah masuk ruang kerja Amira.

Astaghfirullah, mbak Amira!” Salma ikut panik melihat kakaknya pingsan disertai mimisan.

“Cepet panggil om kamu sama Ardi. Kita bawa langsung mamamu ke rumah sakit” perintah Salma pada Arun yang menangis semakin keras.

Arun tak hentinya menangis melihat Amira terbaring lemah di atas ranjang dilengkapi selang infus ditangannya. Sesuai dugaan, dokter bilang jika Amira kelelahan dan kurang kandungan nutrisi. Kekhawatiran Arun begitu besar namun lebih besar lagi dengan rasa benci pada sang papa yang telah membuat mamanya menderita hingga begini.

Sore itu sepulang sekolah, Arun langsung menuju rumah sakit tempat Amira dirawat. Dia senang karena mamanya sudah pulih setelah tiga hari opname. Salma bergantian menjaga Amira.

“Loh kok tante di luar ? kenapa nggak masuk ?” Sapa Arun melihat Salma duduk di kursi tunggu luar kamar.

“Kamu duduk sini dulu, di dalem masih ada tamu” jelas Salma.

“Siapa ?” Arun menyelidik. “Jangan bilang kalau itu papa” Seketika Arun menjadi emosi dan langsung masuk kamar tanpa permisi.

Dua wajah yang tengah asik mengobrol itu seketika menoleh kaget saat pintu terbuka.

“Sayang ? ada apa ?” tanya Amira.

“Oh..nggak kok ma. Maaf” Arun malu lantas menunduk hormat pada pria yang menjadi tamu mamanya.

“Sini, salim dulu sama teman mama yang udah jauh-jauh datang kesini nengokin mama” perintah Amira.

“Halo om, terimakasih sudah njenguk mama kesini” ucap Arun sopan sambil menyalami pria itu.

Sailing With You [END]Where stories live. Discover now