46. Planless

937 87 0
                                    

"Berapa mang ?" tanya Ary ke supir angkot.

"Tiga puluh rebu neng"

Ary mengeluarkan selembar kertas hijau dan ungu lalu menyerahkannya. "Makasih mang"

Arun menyejajarkan langkahnya dengan Ary. Dia heran dengan kakak iparnya yang bersikap biasa saja padahal termasuk orang berada (kaya). Mobil dan motor masih utuh di garasi, tidak hanya satu melainkan ada beberapa tapi Ary lebih memilih untuk naik angkota daripada harus pulang lagi mengambil kendaraan.

Pagi tadi saat sinar matahari mulai nampak, Arun diajak Ary untuk jogging di sekitar rumah yang termasuk area perumahan elit. Mereka berpakaian santai tak lupa memakai sepatu yang nyaman. Mereka juga nongkrong sambil menikmati udara pagi ditemani sarapan bubur ayam yang gerobaknya magrok (berhenti) di depan Betamart.

Arun mengikuti semua ajakan Ary dengan senang dan menganggapnya sebagai upaya untuk mengakrabkan diri. Tapi semakin lama Arun mulai sedikit khawatir. Semua yang dilakukan Ary sudah tidak masuk dalam daftar rencana sekedar jogging. Arun bahkan belum ijin ke Gara jika akan pergi sejauh ini, bagaimanapun Gara adalah suaminya. Ia yang tak membawa ponsel, dompet dan kartu identitas (KTP) kini hanya bisa terbengong kala Ary mengajaknya main tanpa rencana. Dan disinilah mereka berada, di depan mall mewah yang besar bahkan lebih besar daripada yang pernah ia kunjungi saat belanja bulanan. Mereka yang berpakaian ala kadarnya dan bahkan belum mandi, berbedak, ataupun berparfum tapi sudah kelayapan sejauh ini.

"Mbak ? yakin mau shopping ?" tanya Arun.

"Aku nggak pengen shopping sih. Tapi ada urusan. Kenapa ?"

"Aku belum ijin mas Gara, takutnya dicariin." ungkap Arun.

Ary tersenyum melihat adik iparnya yang begitu, yaaa bisa dibilang taat. Ia mengambil ponsel dari tas pinggangnya dan menunggu sebentar.

"Halo. Istri lo sama gue. Nggak usah dicariin. Pokoknya hari ini kita mau hepi-hepi. Jangan ganggu" ucapnya dalam satu kali tarikan napas lalu menutup ponselnya tanpa menunggu sahutan dari seberang.

"Beres. Pokoknya hari ini kamu sama aku. Butuh apa-apa bilang aja nggak usah sungkan" ucap Ary pada Arun yang masih mematung tak percaya.

Itu tadi mbak Ary nelpon mas Gara ? udah gitu doang ? Arun melirik jam tangannya pukul 8.32. Andai smartwatch bukan jam biasa. Mau tak mau Arun masuk menyusul Ary yang sudah berjalan duluan. Mereka langsung menuju lift dan keluar sudah berada di lantai 5.

"Mbak Ary janjian ketemu orang ?" tanya Arun sambil mereka berjalan.

"Nggak janjian kok, ketemuan biasa"

"Apa nggak masalah ngajak aku ?'

"Udahlah santai aja. Kamu mau belanja atau pengen beli sesuatu ?" tawar Ary.

"Nggak mbak" jawab Arun. Dia sudah terbiasa membuat list barang jika ingin berbelanja walaupun lebih sering tidak sesuai rencana. Ia tak tahu harus menjawab apa jika ditanya mendadak begitu, meskipun sebenarnya ada yang dibutuhkan namun ia sungkan.

Arun mengekor Ary yang membelokkan langkahnya ke sebuah butik perhiasan. Mbak Ary mau beli perhiasan ? Arun kehabisan kata begitu melihat keindahan berbagai bentuk dan jenis perhiasan yang di pajang di balik etalase kaca. Cincin berlian, kalung berlian, anting, asesoris dan berbagai perhiasan yang terdesain berkelas bukan kaleng-kaleng. Ia mengamati satu persatu dengan pandangan takjub. Arun sangat menyukai keindahan, tapi jika itu perhiasan ia tak begitu suka memakainya.

"Gimana udah kelar ?" tanya Ary pada karyawan yang berlabel Faris pada seragam kerjanya.

"Udah mbak. Mau dicek dulu ?" tawarnya. Ary mengangguk. Faris mempersilahkan Ary untuk masuk ruangan tertutup.

Sailing With You [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora