27. Regret

1K 111 0
                                    

Mata gara melotot tak percaya ketika melihat status Salma menampilkan foto sosok cantik berpakaian rapi membawa print out serupa makalah. Disana tertulis caption ‘Selamat atas LULUS-nya sidang skripsi walaupun harus REVISI’. Arun sidang skripsi hari ini ? tanpa mengomentari status tersebut, Gara langsung menelepon istrinya.

“Hal-“

“Sayang. Kok kamu nggak bilang-bilang kalau hari ini ada sidang ?” protes Gara tak membiarkan Arun menyelesaikan kalimatnya.

“Kok mas Gara tahu ?”

“Iya, nggak sengaja. Kenapa kamu gak cerita ?” nada bicara Gara menjadi serius.

“Aku khawatir nanti mas Gara kepikiran” jawab Arun.

“Ya biarin aku kepikiran kalau kamu orangnya. Kamu nganggep mas ini apa ? kenapa hal sepenting ini nggak cerita ?” jujur Gara sedikit emosi.

“Maaf. Aku takut mas Gara nanti nggak fokus kerja.” ucap Arun menyesal.

“Kalau kamu cerita dari awal, aku bisa pending dulu nggak ikut pergi dinas kali ini. Aku heran deh, mas rasa kamu udah cukup paham hal semacam ini tapi ternyata kamu masih belum menghargai posisi mas sebagai suami.” dari ucapan Gara, Arun sadar bahwa suaminya kini benar-benar marah.

“Maaf mas. Aku bener-bener nggak pengen mas khawatir” jawab Arun pelan sambil menahan tangisnya.

“Begitulah berumah tangga. Saling berbagi kebahagiaan, kekhawatiran, bahkan masalah juga menjadi tanggungan bersama. Kamu jangan egois mengambil keputusan dari perspektif kamu sendiri. Sama saja kamu nggak butuh aku, Arun” jelas Gara membuat hati Arun tertampar.

“Iya mas, maaf aku yang salah.”

“Gara, ngapain masih disini. Ayo masuk” ajak seorang wanita dengan suara lembutnya.

“Oh, oke” jawab Gara pada wanita tersebut.

“Siapa mas ?” Arun memberanikan diri bertanya.

“Nora, temen kerja. Ya udah aku tutup dulu”

“Iya, As-“ belum sempat Arun mengucapkan salam, Gara sudah mengakhiri panggilan.

Sesuatu berkecamuk di hati Arun. Ini kedua kalinya Gara marah setelah yang pertama saat Jefri mencoba menyerang Arun. Melihat kedatangan Shofi yang berjalan gontai menuju ke arahnya, Arun cepat-cepat mengahapus pipinya yang basah meski warna merah di matanya belum hilang.

“Lama banget, darimana aja ?” tanya Arun bersikap biasa.

“Beb, gue kok merasa bersalah ya sama si Bang Sat ?” Shofi mengadu.

“Bangsat ? siapa ?”

“Itu si Satria”

“Oh, merasa bersalah kenapa ?”

Shofi menjelaskan kejadian yang baru dialaminya. Apa yang ia dengar secara tidak sengaja, prasangkanya selama ini yang ternyata keliru, sikap bar-barnya yang tidak tahu diri padahal Satria selalu ada dan sering membantunya dikala sulit. Shofi menumpahkan semua penyesalannya. Dia merasa belum lega jika belum meminta maaf secara langsung, meski Satria sendiri tidak tahu apa kesalahan Shofi.

“Jadi lo dari fakultas sebelah ?” tanya Arun tak percaya.

“Ho-oh”

“Terus ? udah ketemu Satria ?”

“Belum. Dia disana juga jadi buronan para fansnya. Gue denger dia nggak dateng sidang padahal temen-temen seprodi pada sidang hari ini”

“Coba lo chat aja. Lo ada kontaknya kan” saran Arun.

Shofi menurut meskipun dia merasa gengsi. Tapi dia lebih memilih menghadapi rasa gengsinya daripada hidup dihantui perasaan bersalahnya. Pesan sudah terkirim, tinggal menunggu balasan.

“Mata lo kenapa merah ?” Shofi baru menyadari keadaan Arun.

“Iya, gue ngantuk banget. Semalam begadang belajar buat sidang” Arun beralasan. Dan saat itu juga terdengar bunyi di ponsel Shofi.

“Gimana ? udah dibales ?” tanya Arun saat Shofi mengecek pesan baru itu.

“Udah. Dia cuma ngeshare lokasi” terang Shofi.

“Emangnya lo chat Satria apa ?”

“Gue tanya ‘Lagi dimana ?’ gitu doang”

“Ya udah sana samperin. Gue sekalian pulang mau tidur”

“Oke beb. Sini peluk dulu. We have done a great job today. Congratulation for us” ucap Shofi menyelamati diri mereka sendiri.

Mereka berdua berjalan bersama menuju parkiran, lantas berpisah ke arah yang berbeda setelah melewati gerbang kampus dengan perasaan yang bergejolak. Shofi berusaha menemui Satria untuk meminta maaf, sebenarnya dia juga khawatir apa yang menyebabkan Satria tidak mengikuti sidang skripsi hari ini. Sedangkan Arun dengan perasaan bersalahnya mencoba tetap tenang mengingat dia sudah membuat Gara marah lagi, dia ingin sekali menumpahkan penyesalannya itu dengan menangis sepuasnya di rumah.

###

Jum’at dini hari, Gara pulang ke rumah dalam keadaan begitu letih. Kali ini Arun begadang dan masih melek menyambut kepulangan Gara. Tentu saja perasaan bersalahnya tidak akan mengijinkan Arun untuk tidur nyenyak sebelum mendapatkan maaf dari sang suami.

“Sini mas biar aku yang beresin.” Arun menyambar tas baju dan beberapa bingkisan berisi oleh-oleh hasil perjalanan dinasnya.

“Mas laper ? mau makan ? apa mau istirahat ?” tanya Arun perhatian. Dia sudah menyiapkan makanan jika Gara lapar.

“Aku capek banget, pengen tidur aja” jawab Gara dengan lesu.

“Cuci tangan dan kaki dulu ya, sini aku bantu” Arun mengambilkan handuk dan menggandeng suaminya ke kamar mandi.

Tak ingin mengganggu, Arun membiarkan Gara beristirahat. Dia melihat suaminya langsung tertidur pulas di sebelahnya, padahal belum ada semenit Gara berbaring.

“Maaf mas, aku selalu bikin kamu kecewa. Belum bisa menjadi istri yang baik buat kamu” ucap Arun lirih sambil mengecup kening suaminya. Arun memeluk Gara sambil terisak. Berharap besok pagi keadaan akan berjalan normal kembali.

Ternyata harapan Arun tidak terwujud, Gara lebih banyak diam. Arun sudah meminta maaf dan hanya dijawab anggukan. Arun mengajak ngobrol, menceritakan pengalaman sidang skripsi dan kesulitan yang dialaminya namun Gara hanya mendengarkan dan tidak berkomentar. Dia hanya menjawab seperlunya jika Arun bertanya. Dan bersikap seolah menghindar.

“Mas yakin masuk kerja ? kenapa nggak ngambil jatah libur aja ?” Arun tak tega mengantar kepergian suaminya ke depan rumah.

“Nggak papa cuma sehari. Besok juga libur” Gara memaksakan diri untuk berangkat.

Arun mencium tangan Gara. Biasanya Gara akan membalas itu dengan kecupan hangat di kening Arun, tapi kali ini tidak. Kayaknya mas Gara masih marah. Penyesalan memang selalu datang di akhir. Arun tak ada habisnya menyesali kebodohan yang ia lakukan. Dia hanya berniat tidak menceritakan situasinya dengan harapan agar tidak mengganggu fokus kerja Gara. Namun siapa sangka, pilihan yang telah Arun ambil itu, yang menurutnya baik, justru membuat hubungan mereka semakin memburuk.

Sailing With You [END]Where stories live. Discover now