36. tembok transparan

17.9K 1.7K 17
                                    

RHETA POV

Masalah Arumi yang terangsang udah selesai. Bang Dirga datang tak lama setelah memutus panggilan suara dariku. 

Sempat khawatir tentang keadaan Arumi di tangan bang Dirga, tapi tadi sungguh pemandangan yang sangat jauh dari ekspetasiku. Bang Dirga bahkan keliatan cemas. Dia memeluk Arumi sebelum akhirnya membawa pergi Arumi yang udah diambang kegilaan.

Kini tinggallah aku sedirian. Memungut semua barang-barang Arumi yang berserakan. Aku keluar dari toilet dengan menenteng sepasang heels Arumi. Lalu di pundak kananku ada slingbag Arumi.

Saat keluar, ternyata sudah ada Bianca yang berjaga di pintu. Aku menatapnya tajam.

"Ew. Tadi itu abangnya Alya kan? sekarang Arumi mainnya sama abang temen sendiri? ihhh gue kok jijik ya. Kalo gue jadi Alya sih ogah main sama kalian."

"Tutup mulut sampah lo, bitch. Lo ga lebih baik dari gue ataupun Arumi!" desisku murka.

Mengabaikan Bianca yang terus mencari gara-gara denganku, aku beranjak, menambrak pundaknya dengan kencang. Anjir. Sakit juga cong! Tapi jangan mau kalahlah sama Bianca. Itu si medusa udah teriak-teriak heboh di bekalang mengumpatin aku.

"Emang dari dulu acara si nenek lampir ga pernah bener. Dasar sinting," gumamku sambil terus berjalan mencari di mana pintu keluar. 

Sampai di parkiran, aku menekan kunci mobilku untuk mencari keberadaanya. Ternyata di sana. Baru aja aku mau lanjut berjalan, mataku difokuskan sama sebuah hal.

"Pak Linggar?" Aku yang tidak yakin itu beneran orangnya, sampai mengucek mata beberapa kali. Dan ternyata beneran itu pak Linggar yang aku kenal.

"Bazeng bisa-bisanya kalong wewe modus sampe sejauh ini?!!"

Aku yang kepalang geurah segera menghampiri mereka. Pak Linggar nampak merangkul Kinan yang mabok. Sialannnn. Calon suami aku ternodai!!

Aku langsung menarik Kinan kuat hingga terlepas dari rangkulan pak Linggar. Kuhempas Kinan hingga jatuh ke aspal. Aku mentapnya nyalang.

"Dasar ganjen!" amukku marah.

"Rheta jaga ucapan kamu!" 

Cuih. Rupanya pak Linggar belum sadar juga kalo selama ini Kinan berusaha mendekatinya. Aku tau! sangat. Karena aku juga perempuan, jadi aku tau mana gerak-gerik cewek yang asli cuma temenan dan mana cewek yang temenan tapi ada memendam rasa lebih.

Pak Linggar hendak membantu Kinan lagi, tapi sebelum itu terjadi aku langsung menahannya.

"Bapak bantu dia, saya jamin kita ga akan pernah ketemu lagi," ancamku tak main-main.

"Kamu kenapa sih...? teman saya lagi mabuk. Mana mungkin saya tidak membantunya?"

"Terserah! bapak pilih aja."

"Rheta jangan kekanak-kanakan!"

Aku menggeram mendengar nada bicara pak Linggar yang keliatan kesal. Apa sepenting itu kinan baginya? kalo sama aku? pentingan siapa?!

Ingin banget nanya gitu tapi anak buahku yang tadi aku suruh untuk datang, kini menghampiriku.

Aku memerintah pada mereka. "Bawa perempuan ini sampai rumahnya. Dan jangan biarkan dia..." aku menunjuk pak Linggar yang kini terdiam. "Menyentuh perempuan ini."

"Baik Nona."

Setelah itu aku pergi. Tanpa bisa ditahan lagi air mataku menetes. Brengsek. 

Pip pip.

Aku yang membuka pintu mobil hendak masuk, terpaksa gagal karena dari belakangku ada yang menutupnya lagi.

"Rheta..."

"Minggir," kataku dingin. Aku lagi malas bicara. Udah banyak energi yang keluar malam ini. Jangan sampai aku dan dia berdebat lagi.

"Saya yang antar pulang ya?"

Ga mau menjawabnya, aku justru sibuk mendorong tangannya untuk berhenti menahan pintu mobilku. Susah banget sih! 

"Rheta jangan diem aja..."

Aku terus mendorong tangan itu sekuat tenaga. Air mataku udah mendesak minta dikeluarkan tapi aku ga mau kalo di sini masih ada dia.

"Rheta saya--Arrgh!"

Tangan pak Linggar akhirnya menjauh juga. Tidak ada cara lain, tadi aku menginjak kakinya kencang dengan heels yang aku pake.

Hiks.

Aku buru-buru masuk ke mobil lalu tancap gas.

***

Keesokan paginya aku terbangun masih dengan gaun yang semalam. 

"Eugh." 

Cahaya matahari sudah menerangi seisi kamarku. Kuraba sekeliling kasur, mencari handphone. Begitu liat angka yang tertera di lockscreen, ternyata udah jam 10. Omg! ternyata udah bukan pagi lagi! Untung hari ini kuliahnya masuk jam 12.

Mau tidak mau aku pun bangun dan bergegas mandi. Siap-siap ke kampus.

Saat turun kebawah untuk makan, Mamah sedang masak di dapur.

"Lah Mamah ngapain masak jam segini?" tanyaku heran.

"Mau ngapain kamu turun? sarapan atau makan siang?"

Ahaha. Aku tau Mamah lagi nyindir. Tapi bukannya takut aku malah geli sendiri.

"Anak gadis kok bangunnya siang terus sih Ta... malu sama ayam tetangga."

"Tetangga kita ga ada yang punya ayam Mah," timpalku santai sambil bergerak mengambil piring untuk wadah makananku nanti. 

"Ya tetangga kita ga level melihara ayam, meliharanya tuyul!"

"Ih Mamah ngelawak."

Tuh kan. Aku geli banget melihat kelakuan Mamah. Ah Mamahku yang satu ini emang unik. Ga ada tandingannya. 

Liat aja, dulu yang kerjaannya arisan mulu... ikut Papah pergi-pergi mulu... sekarang turun pangkat. Jadi di dapur mulu. Masak-masak hobinya. Walaupun udah punya banyak ART tapi Mamah tetep masak sendiri bahkan ART yang makan masakan Mamah.

Lah terus Mamah nge-gaji para ART buat apaann??! aku sadar.

Sebelum keluar dari dapur, aku mencomot salah satu cookies yang sedang ditiriskan di atas meja. Mamah yang sempat memergokiku langsung melotot.

"Kok kamu makan sih Taa!! itukan buat calon besan Mamah!!!"

Aku ngikik sambil terus belalu. "Kalo ngehalu jangan ketinggian Mah!" seruku.

---------

ceritanya ga kelar2 yak

kalian bosen ga? 🙂

----------

Pak LinggarWhere stories live. Discover now