IL ~ 19 ✅

10.1K 713 11
                                    

ELMO NATHAEL | POV

Kupandangi wajah pucat dihadapanku. Kepalanya diselimuti perban tebal sehingga membuatnya seakan memakai surban. Wajahnya tertutup masker oksigen dan dilehernya dipasangi cervical collar (alat penyangga leher). Tubuh bagian atasnya terbuka dengan banyak kabel kecil yang ditempelkan didadanya. Kabel-kabel kecil itu dihubungkan dengan sebuah monitor kecil disebelah kanan. Di layar monitor itu ada garis berwarna hijau yang bergerak konstan naik dan turun, menandakan detak jantung orang yang berbaring tersebut.

Kulirik lengan kiri orang yang berbaring dihadapanku. Dilengan kirinya ada jarum dan selang infus yang menyambung dengan kantong cairan berwarna bening yang menggantung di sebelahnya. Cairan itu menetes secara perlahan menuju nadi yang ditancapi jarum dan mengalirkannya masuk kedalam tubuhnya.

Aku mendesah. Orang yang berbaring itu tak bergerak. Hanya gerakan garis dimonitor kecil tersebut yang menandakan pemilik tubuh itu masih hidup. Atau lebih tepatnya masih bernafas. Kukepalkan kedua tanganku disisi tubuhku, menahan keinginanku untuk menyentuhnya. Jika disini bukan ruangan ICU, mungkin pemilik tubuh itu sudah kupeluk sejak tadi. Dokter yang menangani operasinya memintaku untuk tak menyentuh tubuhnya agar dia tetap steril dimasa pemulihannya. Bahkan aku-pun diharusnya memakai pakaian khusus ketika memasuki ruangan ICU dan sebuah masker kain untuk menutupi hidung dan mulutku.

Aku berdiri tepat disamping brangkarnya walau tak terlalu dekat. Aku memejamkan mata seraya menghembuskan nafas pelan. Kucoba untuk menghirup aroma tubuhnya yang selalu dapat menenangkanku. Namun aku tak mendapatkan aroma yang kurindukan itu. Yang kuhirup justru aroma khas rumah sakit yang malah membuatku mual. 

Kubuka mataku dan kembali menatapnya. Irama jantungnya yang terekam di layar monitor ECG (elektrocardiogram) membuatku bernafas lega. Lega karena ia masih bisa diselamatkan. Lega karena aku masih bisa melihat wajahnya. Lega karena aku masih diberi kesempatan untuk mengatakan sesuatu yang ingin didengarnya. Sesuatu yang telah ia katakan sebelum ia akhirnya terbaring disini.

"Because I love you, my beloved husband."

Kalimat itu terdengar lagi dikepalaku. Kata-kata yang terucap dari bibir pink-nya itu membuatku sesak didada. Kuhembuskan nafasku kasar, mencoba menghalau perasaan sakit yang tiba-tiba muncul. Tanpa sadar mataku terasa pedih walau tak ada asap diruangan ini. Aku disergapi penyesalan yang tak berujung. Penyesalan yang selalu terlambat datang saat kita hampir kehilangan. Aku merutuki kebodohanku yang tak segera merespon pernyataan cintanya saat itu. Tapi jika aku membalas ungkapan perasaannya saat itu, apakah keadaan akan berubah? Aku yakin tak ada yang berubah. Dia tetap akan berbaring disini dan aku tetap melawan Manuel. Kusentuh lengan kiriku yang terluka akibat sabetan pisau Manuel. Walau luka itu telah diobati dan diperban namun perih masih kurasakan saat kugerakkan tangan kiriku.

Cukup lama aku berdiri disini, disamping tempat tidurnya. Menatap wajahnya, mendengarkan detak jantungnya dan merasakan kehangatan tubuhnya mampu membuatku bertahan berdiri. Tak kurasakan pegal dikakiku. Yang kupikirkan hanya dia, yang terbaring ditempat tidur itu. Dia, yang membuatku masih bisa berdiri tegak. Dia, yang ternyata mampu menyentuh sesuatu yang lama tertidur. Dan dia juga, yang hampir membuatku gila kehilangannya.

"Maaf Pangeran. Ada telpon dari Yang Mulia Senior King." bisik seseorang. Aku menoleh pelan ke asal suara. Kulihat Ryo berdiri tegak tepat disamping kiriku. Aku mendesah pelan lalu kembali menatap seseorang yang terbaring didepanku.

"Sekarang?"

 "Ya Pangeran. Beliau menunggu Anda sekarang."

"Apa kakek tahu yang terjadi?" Kami masih berbicara dengan berbisik.

INCREDIBLE LOVE [BxB] #1 ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang