50. Meninggalkan Cinta

7.6K 1.2K 80
                                    

Hari ini adalah hari dimana Haechan dan Jisung akan pergi ke Jepang. Hingga saat ini, Haechan masih belum sadarkan diri. Benturan di kepalanya membuat Haechan harus tertidur sedikit lebih lama.

Ranjang Haechan didorong masuk ke dalam pesawat pribadi milik Donghae. Mereka akan berangkat dini hari, saat orang-orang masih tertidur.

"Kau benar-benar pergi?" tanya Jaemin, sebelum Jisung memasuki pesawat.

Beberapa jam sebelumnya, saat Jaemin mengunjungi Haechan. Dia bertemu dengan Jisung yang baru tiba sambil membawa satu koper. Jika itu hanya untuk baju ganti, tidak perlu membawa koper. Awalnya Jisung tidak ingin mengaku, tetapi ketika Jaemin terus memaksanya, akhirnya remaja itu mengaku dan meminta Jaemin untuk tidak memberitahu siapapun.

"Jaga diri, Paman."

Jisung tak memiliki banyak hal untuk dikatakan. Hanya itu yang bisa dia titipkan pada Jaemin. Menjaga dirinya sendiri, karena Jisung tahu, Jaemin sering bergadang karena pekerjaan.

"Jisung. Ini terakhir kalinya aku bertanya. Apa kau mau menerima lamaranku?"

Jisung tersenyum kecil. "Maaf, Paman."

Meskipun Jaemin tahu jawaban Jisung tak akan pernah berubah ... dia tetap bertanya dengan sedikit harapan. Akan tetapi, sampai akhir pun ... Jisung tetap menolaknya.

Jaemin tertawa di akhir. "Yah. Sepertinya aku harus segera Move On."

Jisung hanya tersenyum, tak berkata apapun. Dia melihat ke arah jam tangannya. Sudah waktunya untuk berangkat.

"Aku pergi ... Jaemin Hyung."

Panggilan itu membuat Jaemin membeku. Panggilan yang telah lama dia tunggu dari dulu, akhirnya terjadi. Jaemin tertawa senang, meski terdengar asing ketika Jisung memanggilnya Hyung setelah 5 tahun dia memanggilnya Paman.

"Apa itu permintaan maafmu karena sudah menolakku?"

"Ya. Kuharap hatimu tidak terlalu sakit lagi."

"Sialan. Kau tahu hatiku sakit, tapi tetap melakukannya?"

Tawa kecil yang diberikan Jisung untuk jawabannya.

"Sampai jumpa, Hyung."

Saat Jisung telah berbalik, Jaemin tiba-tiba bertanya. "Apa kau akan meninggalkan dia?"

Tubuh Jisung berhenti. Kakinya menunda untuk melangkah. Dia berbalik kembali untuk menjawab Jaemin. "Aku tidak meninggalkan dia."

Dengan jawaban yang tak sepenuhnya terjawab, Jisung melanjutkan langkahnya untuk pergi menaiki pesawat.

Selama dalam perjalanan, Jisung hanya diam dan melamun. Dia bertanya pada pikirannya sendiri. Kenapa dia dan ibunya berada di situasi ini?

Orang yang mengaku sebagai pamannya, sebenarnya adalah ayah kandungnya. Orang yang menjadi ayah kandungnya adalah orang yang membuat ibunya cacat.

Apa benar dia adalah ayah kandungnya?

Pertanyaan itu muncul di benak Jisung. Apa ada orang yang melukai orang yang disukai? Bukankah pada dasarnya mereka harus menjaga orang yang mereka kasihi?

Bagi Jisung, itu bukanlah cinta, tapi obsesi. Sama seperti Chenle yang terobsesi padanya.

Jisung tidak tahu, apakah Chenle benar-benar menyukainya dengan tulus. Jika wajah Jisung rusak ataupun suaranya menghilang ... apakah Chenle masih menginginkannya?

Pemikiran acak yang terus bermunculan membuat Jisung mengantuk. Dia berhenti berpikir dan mencoba untuk tidur, meski pada akhirnya, dia hanya bisa tidur nyenyak sejam sebelum mereka tiba di Jepang.

"Ruangannya sudah disiapkan dan ibumu sedang diperiksa. Aku akan meminta dokter yang bisa berbahasa Korea agar kau mudah bertanya. Untuk sekolah—"

"Aku tidak ingin sekolah dulu."

Jisung memotong kalimat Donghae. Walaupun itu tidak sopan dan Haechan akan menjewer telinganya, Jisung tetap melakukannya. Dia tidak ingin sekolah untuk sementara. Karena tujuan utama dia ke Jepang adalah untuk mengobati ibunya.

"Baik. Katakan padaku jika kau ingin bersekolah dan untuk rumah ... Seungmin sedang mengurusnya. Kalian bisa tinggal di sana saat keadaan ibumu membaik."

Jisung mengangguk. Suka atau tidak, Jisung tak peduli. Berapa lama dia harus tinggal di Jepang ... dia juga tidak peduli. Selama ibunya aman, Jisung tidak masalah.

Di ruangan VIP, terdapat satu televisi besar dan satu sofa di depannya. Ruangan ini terlihat seperti sebuah kamar pribadi dibandingkan dengan kamar rumah sakit biasanya.

Donghae benar-benar menyiapkan segala hal untuk menjauhkan mereka dari Mark.

Jisung meletakkan kopernya di samping ranjang Haechan. Di ujung kamar, terdapat satu lemari kayu berukuran sedang. Jisung ingin merapikan bajunya ke dalam lemari, tapi dia terlalu lelah.

Dua hari berlalu sejak mereka tiba di Jepang, Jisung masih belum bisa beradaptasi dengan lingkungannya. Orang-orang di sana menggunakan bahasa yang tidak dia mengerti. Untuk sekadar membeli minuman di mesin, dia harus menggunakan alat penerjemah.

"Kenapa susah sekali."

Hasil terjemahan pun tidak jelas. Jisung semakin tidak mengerti. Dia ingin menyerah untuk membeli minuman, membiarkan dirinya kehausan.

Suara mesin yang berbunyi, mengalihkan perhatian Jisung dari ponselnya. Dari sampingnya, seorang dokter laki-laki berdiri dan menekan-nekan tombol mesin, kemudian memasukkan beberapa koin ke dalamnya.

Jisung memperhatikan cara dokter tersebut bekerja. Agar kedepannya dia bisa mencobanya sendiri.

"Ini."

"Ha?"

Jisung mendongak. Dokter ini berbicara bahasa Korea dengannya. Padahal wajah dokter ini terlihat seperti Yakuza.

"Untukmu." Dokter itu menyodorkan kaleng minuman untuk Jisung. Meski bingung, Jisung tetap mengambilnya.

"Terima kasih."

"Eum." Dokter tersebut mengangguk sambil tersenyum, kemudian membuka kaleng minuman tersebut dan meminumnya.

"Kau Seo Jisung 'kan?" tanya dokter itu.

Jisung mengangguk. "Apa Anda dokter yang akan merawat ibuku?"

Donghae mengatakan akan ada dokter yang bisa berbahasa Korea yang akan merawat ibunya. Dokter di depannya ini bisa bahasa Korea dan terutama dia mengetahui nama Jisung.

"Ya. Aku baru saja tiba setelah bertugas di Kyoto."

Hari semakin malam, tapi dokter tersebut malah menghabiskan satu kaleng kopi. Jisung hanya melihatnya, berpikir bahwa dokter ini akan berjaga malam.

"Apa ... ibumu mempunyai nama yang lain?" tanya dokter tersebut.

"Ada. Seo Donghyuck."

Dokter tersebut sempat terkejut sesaat, tetapi kemudian dia mengangguk.

"Begitu. Sudah malam. Kembali ke dalam. Udara akan semakin dingin."

Sebelum dokter itu pergi, Jisung bertanya. Karena sedari tadi, dia terus memperhatikan tanda nama di jasnya.

"Apa yang tertulis di sana?"

Dokter tersebut melihat ke arah yang dimaksud Jisung.

"Oh. Ini namaku. Nakamoto Yuta."



Tbc

Gak papa pendek.

Yang penting apa?

Update.

Uee mual ni, abis muntah. Malam besok lagi ya. Babay~

The Twins' Obsession | MARKHYUCK (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang