05 - AF

2.5K 145 20
                                    

Matahari mulai naik. Setelah kejadian di kantin, kini aku perlu beristirahat, menunggu makananku dicerna dengan baik oleh tubuhku. Kulangkahkan kakiku menuju taman belakang, tempat favoritku di sini. Namun, pandanganku melihat sosok Alvan yang tengah bersandar di kursi yang biasanya aku duduki. Sedang apa dia di sini?

Mungkin kali ini aku akan mencari tempat lain, mengingat Alvan sudah terlihat nyaman di sana. Membalikkan badanku dan perlahan ingin menjauh, sebelum panggilan darinya membuatku berhenti.

“Auva.”

Aku hanya diam dan bingung, tidak tahu harus merespons bagaimana.

“Auva,” panggilnya lagi.

Lalu aku bisa mendengar dengan jelas suara decakan yang berasal dari balik punggungku.

“Telinga lo mendadak budek, apa gimana?” kesalnya.

Dalam hati, aku meringis mendengar perkataannya. Dengan tersenyum polos, aku berbalik menatapnya.

“Hehe, hai Al,” ucapku sambil melambaikan tangan ke arahnya.

“Sini!” titahnya.

Ku tunjuk diriku sendiri sambil menatapnya bingung. “Gua? Kenapa?”

“Ke sini, lo ini bego apa gimana?”

Oke, baiklah. Aku tak akan membangunkan sisi lain dari Alvan. Kulangkahkan kaki perlahan dan berdiri di hadapannya. Terkejut begitu dia menarikku untuk duduk di sampingnya.

“Lama banget, timbang duduk doang!” gerutunya. Aku mencoba untuk tersenyum.

“Gua mau balik aja deh,” ucapku.

Kulihat dia menatapku tajam. Oke, sepertinya ucapanku salah.

Puk!

Tubuhku menegang ketika merasakan bahu kiriku terasa berat. Alvan ternyata tengah bersandar pada bahuku. Aku hanya bisa terduduk kaku, merasakan seluruh badanku yang menegang, membuat aku bingung harus melakukan apa. Hanya bisa memegang kotak bekalku dengan erat.

Aku benar-benar gugup setengah mati karena bisa sedekat ini dengan Alvan. Sialnya, detak jantungku semakin berdegup kencang. Alvan, semoga kamu tidak mendengarnya.

“Buatin lagi.”

Sebentar, aku mencoba mencerna perkataannya. Maksudnya, dia ingin dibuatkan bekal lagi, begitu? Aku hanya menatapnya dengan bingung.

“Ck, buatin gua bekal lagi, Auva,” jelasnya.

“Hah?”

Kulihat ia bangun dari bersandar, menjauh dari bahuku, dan menatapku serius. Aku sedikit terpaku pada bola matanya, cantik sekali.

“Tolong buatkan gua bekal lagi, nasi goreng dengan telur setengah matang. Bisakan?”

“Ogah, gua mager,” ucapku dengan cepat.

Alvan terlihat menahan emosinya, sebenarnya aku merutuki ucapan yang keluar begitu saja.

“Auva,” panggilnya, suaranya cukup rendah.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now