45 - AF

1.1K 70 6
                                    

Satu minggu telah berlalu sejak kecelakaan itu. Luka yang kami alami dari insiden tersebut perlahan mulai pulih, namun bekasnya masih tetap nyata. Kami bertiga telah kembali ke kegiatan sekolah, dan pada hari pertama, aku dibanjiri pertanyaan dari teman sekelas.

Hari itu, Alvan dan aku menjadi sorotan hangat di kalangan siswa Nusa Abadi. Namun, percakapan hangat itu meredup saat berita muncul tentang salah satu siswa yang diketahui tengah mengandung, dan tak lain adalah Angel. Kabarnya, dia hamil dari seorang anggota ekskul futsal. Yang lebih mengejutkan, tersebar foto mereka berdua tengah berhubungan di toilet yang rusak. Ternyata, selama ini aku tidak menyadari keberadaan Angel di sekitar Alvan, dan sekarang terungkap bahwa dia sudah menemukan ikatan baru.

Jadi, yang tersisa hanyalah Gisel? Mengenai Wulan, aku sendiri belum bertemu dengannya sejak insiden pembullyan itu. Setidaknya, bebanku berkurang, tetapi aku juga mulai curiga pada Gisel yang belakangan ini selalu mendekati Naka.

Saat bersekolah, kami sesekali berhadapan dengan Katian, yang selalu menatap tajam kami. Ah, seharusnya kukoreksi, lebih tepatnya menatap tajam Alvan. Mereka sering kali terlibat pertengkaran yang berakhir di ruang BK. Keadaan semakin rumit.

Masalah masih terus berlanjut, dipenuhi oleh kesalahpahaman yang terus berkembang menjadi dendam. Suasana sunyi menyelimuti mereka berdua, memilih untuk tetap diam, dan tidak seorang pun yang bersedia memulai pembicaraan. Keheningan ini semakin membingungkan aku dan teman-teman lain, terutama karena Katian tak segan menunjukkan ketidaksetujuannya secara eksplisit.

Tersenyum miring ketika melihat aku dan Alvan kembali bersekolah, Katian kemudian melepaskan kata-kata yang merusak suasana. Kata-kata tersebut tidak hanya menyentuh perasaan Alvan, tetapi juga menggetarkan emosi anggota inti Bradiz.

"Sayang sekali hanya pincang, padahal gua pengennya tuh kaki hilang," Katian mengungkapkan dengan nada sinis.

"Maksud lo apa?!" teriak Abyaz sambil mendekati Katian. Namun, langkahnya dihalangi oleh Liam.

"Ya minimal temen lo kakinya hilang satu, lebih bagus enggak punya kaki sih," tambah Katian dengan nada datar yang menambah ketegangan di udara.

Mendengar kata-kata provokatif dari Katian, Abyaz terpancing emosi, semakin memberontak dalam dekapan mereka. Di sisi lain, Katian justru memunculkan senyuman mengejek, seolah senang telah berhasil membuat Abyaz kesal.

Sementara itu, Alvan hanya diam, menatap dingin pada Katian. Di belakangku, Abyaz masih terus memberontak, dan aku hanya bisa diam bingung, terperangkap dalam situasi yang semakin memanas.

"Anjing lo, kenapa gak lo aja yang mati, bangsat!" teriak Abyaz, sementara Katian menatap tajam ke arah Alvan.

"Gua bakal mati, kalau dia—" Katian menunjuk pada Alvan. "Ikut mati," sambungnya dengan nada yang menantang.

"Lo punya masalah sama gua? Kenapa temen-temen gua harus kena? Bahkan lo nyelakain cewek gua!" Alvan akhirnya memecah keheningan, menyuarakan kebingungan dan ketidaksetujuannya terhadap situasi yang semakin memanas.

Katian menyematkan tatapan sengit pada kami, sambil menyunggingkan senyuman iblis di bibirnya.

"Karena suatu kebahagiaan ngeliat lo dan yang lain menderita karena gua," ucap Katian dengan nada menantang. Mendengar pernyataan itu, Alvan spontan mengepalkan tangannya, seolah ingin langsung menimpuk Katian.

Namun, aksi itu terhenti tiba-tiba ketika pak Broto, guru pembimbing kami, mendekati dengan langkah panjang, membawa penggaris panjangnya yang sudah menjadi momok bagi banyak siswa. Kami pun terpaksa menghindari amukan pak Broto yang mungkin saja melibatkan kami dalam situasi yang lebih rumit.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now