40 - AF

1.1K 74 3
                                    

Di koridor, aku berjalan bersama Alvan yang menggenggam tanganku, membawaku ke toilet untuk mencuci muka. Aku mengangguk dan memasuki toilet, tetapi terkejut melihat beberapa murid tengah berganti pakaian.

Tanpa ragu, aku mencuci muka, melihat keadaanku yang acak-acakan. Setelah merasa segar, aku mengambil tisu wajah dan keluar dari toilet. Alvan duduk di bangku tunggu, sibuk memainkan ponselnya. Aku mendekat perlahan, dia menyadari langkahku, menyimpan ponselnya dan tersenyum kecil ke arahku.

"Udah enak?" tanyanya, aku hanya bisa mengangguk.

Dia meraih tanganku, lalu berjalan meninggalkan toilet. Di koridor, banyak sekali mata yang memandang kami berdua. Alvan tiba-tiba membawaku ke taman belakang, tempat biasa aku duduk.

"Sini, duduk." Aku menuruti ucapannya dan segera duduk di sampingnya. Tangannya telaten membenarkan tatanan rambutku, aku hanya bisa menatap wajahnya sambil diam menikmati tindakannya.

"Tadi kenapa tidurnya sambil nangis, hm?" tanyanya sambil menatapku.

"Ngeliat kamu mati."

Dia sedikit terkejut lalu kembali menormalkan raut wajahnya. "Mati gimana emangnya?" Aku menatap langit biru yang cerah.

"Kamu disiksa sama Katian, belum lagi perut kamu ditusuk. Terus kamu malah lindungi aku, berakhirnya kamu ditembak sama dia. Siapa yang enggak nangis liat orang disayang mati depan mata?"

Alvan dengan cepat mencubit pipiku secara gemas, sementara aku menatap kesal padanya. "Gemes banget sih, tenang aja, gua enggak bakal mati. Kalau mati, yang tinggal kubur, beres."

Perkataannya itu kuhadiahi pukulan kencang pada pahanya. Dia meringis kesakitan, sementara aku menatapnya sinis. Setelah itu, Alvan menelepon seseorang. Entah siapa itu, aku tak peduli. Dia benar-benar membuatku kesal bukan main.

"Al, Katian pindah ke sini, udah tau?" Dia mengangguk santai.

"Udah, ya? Lo tadi abis nangis gara-gara dia, meski cuma mimpi tetap aja. Udah diem ya, cantik?" Aku hanya mencebikkan bibir mendengar perkataannya. Sejujurnya, aku lebih suka Alvan banyak diam daripada berbicara.

Dari jauh, aku melihat anggota Bradiz datang menghampiri kami dengan membawa satu kresek makanan. "Tumben di sini?" tanya Evan saat sampai di hadapan kalian berdua. Mereka langsung saja ikut mendudukkan diri membentuk lingkaran kecil.

"Noh, tidur sambil nangis," ucap Alvan sambil menunjuk ke arahku menggunakan dagunya.

"Pantesan panik tadi, ayangnya lagi nangis," tutur Liam.

"Kenapa nangis?" Abyaz menyodorkan susu kotak ke arah Naka, yang diterima langsung oleh remaja itu.

"Kayaknya sih mimpi buruk," celetuk Naka.

"Mimpi apa emangnya?" tanya Zaidan sambil membuka bungkus makanan.

"Mimpi liat gua mati di tangan Katian." Sontak, jawaban dari Alvan membuat Zaidan dan Naka tersedak makanan.

"Weh! Minum, minum, aduh bisa-bisanya." Abyaz panik melihat kedua temannya yang terbatuk-batuk, tetapi dia juga sedikit tertawa saat memberikan air mineral.

"Tenggorokan gua sakit banget," tutur Naka yang diangguki secara bersamaan oleh Zaidan.

"Gua denger ada murid baru?" Evan memulai obrolan, mendengar itu aku dan Naka mengangguk.

"Emang, sekelas sama gua," ucapnya.

"Cewek?" tanyanya lagi, Naka hanya menggelengkan kepala.

Aku hanya diam memperhatikan mereka sambil menikmati suapan roti coklat dari Alvan. Kapan lagi dimanja sama dia.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now