27 - AF

1.4K 94 13
                                    

Kita semua berjalan menuju parkiran motor, sementara aku sempat melirik lapangan yang telah berubah karena ulah tangan-tangan mereka.

"Eh, mau ke markas atau ke mana?" tanya Evan.

"Ke Mbok Ijah dulu dong, tiba-tiba pengen gorengan sama es kelapa," jawab Naka.

Sambil meraih ponsel dari saku seragam, aku memberi tahu Ayah bahwa aku akan pergi dengan Alvan, dan Ayah mengizinkan selama tidak ada hal negatif.

"Ayo, gas! Lo pada mau rujak mangga enggak?" tanya Ezra.

"Ayo, pake punya pak Emon aja," usul Zaidan.

Aku masih diam, tidak memahami apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Pak Emon? Siapa dia?

"Emang pohonnya Pak Emon udah berbuah?" tanya Liam.

"Gua liat udah, bahkan ada yang matang. Ambil aja udah," tutur Abyaz.

"Yaudah, entar gua yang ambil," kata Naka.

Mereka semua mengangguk, sementara aku bingung, hanya menatap Alvan. Dia menyadari bahwa aku tengah memperhatikannya dan memandangku dalam diam.

"Tapi, ngambilnya abis dari warung Mbok Ijah aja, terus langsung kabur," ucap Evan sambil meraih helm.

"Lo nanti berdiri agak jauh dari rumah Pak Emon, Va," kata Zaidan.

"Kenapa emang?" tanyaku.

"Lakuin aja," ucap Alvan tiba-tiba sambil memasangkan helm. Aku mengangguk. Baiklah, mari kita lihat kelakuan mereka setelah ini.

Akhirnya, kami semua meninggalkan area sekolah. Aku, seperti biasa, memeluk erat pinggang Alvan sambil menatap lingkungan yang baru bagi saya.

Kemudian, kami tiba di tujuan, sebuah warung makan yang cukup bagus dan bersih. Aku turun dari motor Alvan dan meletakkan helm di motornya.

"Lah, ada para curut lagi makan," tunjuk Evan dengan dagunya.

Aku melihat di pojok kanan, ada Haikal dan teman-temannya. Apa ini mungkin salah satu tempat favorit mereka selain di markas?

"Palingan juga nunggu Mbak Indah," celetuk Zaidan.

"Mbak Indah siapa?"

"Itu, Va. Janda perawan, badannya beuh, bagus," ucap Abyaz.

Aku mengangguk paham, lalu mengambil tempat bersama Haikal, lebih tepatnya di meja sebelah Haikal dan teman-temannya.

"Woi bang, tumben ke sini." Haikal bangun dari duduknya lalu melakukan tos ala anak lelaki.

"Noh, Naka, kangen Mbok," ucap Liam.

"Wih, Mbak Auva," sapanya, aku hanya tersenyum.

"Bang, paketan lo entar malam nyampe." Pemuda dengan kacamata itu menghampiri Alvan dan melakukan tos juga, aku hanya diam, posisiku seakan dikepung oleh mereka.

"Taruh markas aja."

"Paket apa, Al?" tanyaku padanya.

"Album punya lo, besok gua bawain."

Aku terdiam, tunggu sebentar. Jadi, Alvan benar-benar membelikan aku album yang tadi aku minta dengan iseng? Sungguh, dia membelikan album itu secara cuma-cuma?

"Lo beneran beli?" tanyaku memastikan.

Dia mengambil tempat duduk lalu mengangguk, "Kan gua bilang, segitu aja gua bisa beli," ucapnya dengan santai.

Aku mengambil tempat duduk di hadapannya, demi apa pun aku masih terkejut. Padahal, waktu itu aku dan dia masih berstatus teman biasa.

"Gua kira itu bercandaan, Al."

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang