24 - AF

1.5K 95 9
                                    

Kini aku duduk di bangku UKS, Alvan sibuk mencari es batu di dalam kulkas dan kain untuk mengompres pipiku. Tak berapa lama, pintu UKS terbuka, anggota Bradiz memasuki ruangan. Alvan kembali dengan kompresan.

"Lo enggak apa-apa?" tanya Ezra.

Aku mengangguk, "Enggak apa-apa, cuma panas pipinya."

"Eh, abis nangis ya? Suara lo sampe serak begitu," goda Evan.

Alvan diam, sementara itu, dia menyeka pipiku dengan kain dingin. "Zai posting foto semalam, umumin kalau Auva jadi anggota kita," tiba-tiba Alvan bicara.

"Benar, langsung aja publish," kata Naka.

"Bukannya kalau sekarang di-publish, Auva bisa makin berisiko, kan?" interupsi Evan.

Mendengar itu, aku hanya memperhatikan, bingung dengan konsekuensi apa yang mereka bicarakan.

"Al, yakin dengan keputusan ini? Lo siap dengan konsekuensinya?" tanya Liam.

Alvan angguk cepat, "Gua yang memulai, jadi gua siap bertanggung jawab."

Mulai dari mana? Apa artinya semua perkataan mereka? Apa konsekuensinya? Aku hanya diam, mencoba memahami.

"Baik di-publish atau tidak, Auva tetap terancam karena keterlibatan dengan kita."

"Ini tanggung jawab gua, gua udah mikirin semuanya. Publish aja, Zai," putusnya.

Liam mengangguk pada Zaidan, "Setelah ini, kita harus jaga Auva. Pasti bakal ada masalah karena dia dekat dengan kita."

Aku semakin bingung, siapa yang dimaksud dengan 'mereka'?

"Gua nggak ngerti dengan yang kalian omongin."

Mereka semua diam.

"Apa yang bakal terjadi kalau gua dekat sama kalian?"

"Banyak pertanyaan di pikiran gua, tapi gua takut nanya karena gua baru dekat sama kalian."

"Apa masalah yang bakal gua hadapi kalau bergabung dengan kalian?"

Liam menghela napas, "Va, kita tahu kalau belakangan ini lo di-bully di sekolah. Itu di sekolah, gimana di luar sekolah?"

"Va, percaya deh sama kita. Kita nggak punya niat jahat sama lo. Dengan deketin lo secara tiba-tiba dan ngajak bergabung, kita punya alasan sendiri kenapa harus begitu." Ucapan Ezra membuatku diam, menatap satu per satu dari mereka. Apa alasan mereka mendekatiku?

"Jelaskan kenapa kalian tiba-tiba mau dekat sama gua? Bahkan kita nggak ada hubungan darah, kenapa?" tanyaku.

"Semua ini karena Alvan," jawab Liam.

Alvan? Mengapa dia?

"Jelaskan, Al. Mungkin ini saatnya. Daripada semuanya semakin rumit," kata Ezra.

Alvan mengambil napas, menatapku sambil mengangguk, menyetujui ucapan Ezra.

"Selama lima tahun, gua selalu memperhatikan lo secara diam-diam, Na. Lo ingat waktu SMP, saat lo ngebantu seorang anak yang dibully karena penampilannya kurang bagus?"

Aku mencoba mengingat, sepertinya aku pernah membantu siswa yang dibully. Aku ingat anak itu membawa buku dan diolok-olok oleh murid lain.

Aku menatap Alvan, apakah dia siswa yang pernah kubantu? Siswa yang dibully karena penampilannya?

"Setelah kejadian itu, gua selalu cari lo di sekolah. Awalnya, gua enggak berani mendekat karena penampilan gua yang waktu itu kayak kutu buku."

Aku diam, mendengarkan cerita Alvan. Dia tersenyum tipis, meraih pergelangan tanganku yang memerah akibat ulah dayang Angel.

"Gua cuma bisa memperhatikan lo dari jauh, melihat semua aktivitas lo di sekolah, bahkan di luar. Mulai dari SMP sampe sekarang. Lo itu suka menyendiri, baik di kantin, perpustakaan, atau taman belakang. Lo suka tempat-tempat yang sunyi."

"Bahkan di kelas 9, gua coba buat ngerubah penampilan gua biar enggak dibully lagi. Gua bukan lagi Alvan yang kutu buku, bukan lagi Alvan yang diem saat dirundung. Tapi kenyataan bahwa gua enggak bisa ketemu lo di kelas 9 bikin gua marah, Na. Marah karena saat gua berusaha buat deket, semesta malah jauhin lo dari gua."

"Bisa gua cuma berharap buat ketemu sama lo lagi. Gua janji sama diri sendiri saat gua ketemu lo, gua enggak akan lepasin lo lagi."

Aku masih diam.

"Kita bertujuh," tunjuknya pada yang lain. "Kita sepakat buat jadi kelompok. Awalnya, kita semua karena sering tawuran, bolos, dan beberapa ikut gabung. Kita bertujuh akhirnya buat geng motor, dan lo tahu? Selama ini gua cari lo, Na. Sampai akhirnya semesta nemuin kita di kelas 11."

"Jujur, gua enggak tahu kalau sebenarnya kita selama ini berada disatu lingkungan yang sama. Karena selama ini gua selalu cari lo ke mana-mana, tapi ternyata lo ada di dekat gua," jelasnya sambil tertawa kecil.

"Gua akhirnya nyelidikin siapa lo, dan ternyata bener itu lo, Na. Gua akhirnya minta bantu mereka buat ngawasin lo dari jauh, karena lo selalu pergi sendirian. Gua cuma takut musuh gua ngelukain lo, Na."

"Terus hubungan lo sama Arjun apa?" tanyaku dengan penasaran.

Alvan tersenyum dengan senyuman yang manis hingga gummy smile-nya terlihat, "Gua dateng ke Arjun itu buat minta izin, karena gua udah lama suka sama sepupunya yang cantik ini. Arjun kasih izin dengan syarat gua harus jagain lo, jangan buat lo sakit atau bahkan sedih, Ana."

"Jadi, gua berharap sama lo untuk selalu ada di deket gua, di sekitar kita. Gua enggak akan biarin mereka nyakitin cewek yang udah gua jaga dari lama."

Dia mendekat dan memelukku.

"Maaf untuk yang ini, gua lalai. Ke depannya, kita semua harus tetap waspada karena itu tugas gua, janji gua sama Arjun dan om Satrio. Gua sayang lo, Na. Jangan pergi dari hidup gua."

Aku hanya diam, satu per satu teka-teki itu mulai terungkap sendiri. Biarlah, setidaknya aku bahagia selama ini perasaanku terbalas, yang membuatku terkejut adalah Alvan lebih dulu menyukai aku.

"Ah, seharusnya gua merekam tadi. Kapan lagi lihat Alvan yang romantis gitu."

"Mati aja sana, Zai," respon Alvan.

Kami tertawa, aku merasa sangat bahagia dan terharu. Kemudian, mereka semua mendekat ke arahku.

"Kita semua setuju karena ini adalah permintaan pertama Alvan setelah empat tahun kita berteman. Alvan selalu usahain kebutuhan kita, dia juga enggak pernah ingkar sama ucapannya. Jadi, kita setuju saat dia minta lo masuk dan dijagain sama kita," jelas Liam.

"Tapi, Va."

"Apa, Van?" tanyaku pada Evan.

"Walaupun kita sebaya, tapi lo itu tetep anak kecil yang gampang ilang kalau enggak dijagain."

Mereka tersenyum, Abyaz merangkulku. "Lo itu kayak anak kucing, lucu tapi galak yakan?"

"Bener banget!"

Aku menepis rangkulan Abyaz, "Jangan ngatain gua kayak anak kucing!" Semua tertawa, termasuk Alvan.

"Gua harap, semoga kedepannya kebaikan selalu mengelilingi kita," ucap Liam.

Mereka semua angguk, tetapi ucapan dari Naka membuat mereka terdiam.

"Gua khawatir setelah dipublish, Auva akan semakin berbahaya karena dia."

"Gua enggak akan biarkan dia menyakiti Auva sedikit pun," ucap Alvan.

Dia siapa?

Seberapa jahatnya hingga membuat Alvan menatap serius dengan tangan terkepal. Aku berharap semoga semesta melindungiku dan mereka. Semoga saja tidak ada yang buruk terjadi.

Semoga saja.

ー ABOUT FEELINGS ー

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang