44 - AF

1K 69 7
                                    

Aku, Arjun, dan Alvan tengah bersantai, sepakat untuk membolos sekolah hari ini. Pukul 10.00 WIB, Alvan tiba diantar oleh kakaknya. Baru kali ini aku tahu kalau Alvan punya kakak laki-laki. Sungguh mengejutkan melihat betapa miripnya mereka, kecuali bentuk badannya yang berbeda.

Sementara yang lain berjanji akan menyusul setelah kegiatan sekolah, mereka mengaku kangen dengan es teh manis dan berencana mampir nanti. Untungnya, kedua orang tuaku tak masalah dengan hal itu.

"Woi, tangannya yang bener! Enak aja main rangkul-rangkul," ujar Arjun sambil memukul bahu Alvan dengan tangan kanannya.

Sambil duduk di pinggir sofa, aku hanya diam menikmati perdebatan mereka. Alvan bersandar pada sisi kiri, dan Arjun berdiri tegak di tengah ruangan.

"Lah, tangan gua kenapa?" tanya Alvan dengan santai, wajahnya penuh kebingungan.

"Lo buta? Noh, lihat siku pacar lo, luka gitu mau dilendotin," ejeknya, sambil terkekeh.

Tiba-tiba, Alvan sadar sesuatu. Matanya beralih ke arah perban di siku aku yang kiri. Dia bangkit dari tempatnya duduk dan menyuruhku bergeser ke sebelah kiri. Dengan cermat, dia duduk dan bersandar di bahu kanan.

"Alah, tai gua jadi nyamuk di sini!" seru Arjun sambil mengecek perban dengan wajah penuh ekspresi konyol, mengundang tawa dari kami berdua.

"Kasian jomblo, mana ngenes lagi," ejek Alvan dengan senyum nakal.

"Alah, mulutnya, gua tikung juga nih," timpal Arjun sambil tersenyum meyakinkan.

"Berani lo nikung gua?" ujar Alvan menatap datar Arjun, menciptakan ketegangan ringan di udara.

"Berani lah, sama-sama manusia ini. Ngapain takut." Tantang Arjun sambil duduk di sebelah kiriku, menjadikan aku diapit oleh mereka.

"Ngapain lo duduk di situ, pindah gak!"

"Ogah, dibilang gua mau nikung lo."

"Lo mau pakai cara alus apa kasar, Jun?"

"Apa lo nantangin gua buat baku hantam?" Alvan mengangguk setuju, sementara aku hanya menatap tanpa minat ke mereka.

"Ayo ribut kita, bye one di sini," kata Arjun, Alvan tersenyum miring melihat Arjun mulai bangkit dari duduknya.

"Gaya lo bye one, tangan lo aja ada satu," celetuk Alvan. Mendengar itu, Arjun mendadak diam. Aku pun bingung harus merespon bagaimana.

"Alah, bilang aja, lo takut kalah 'kan? Enggak peduli gua pake satu tangan buat bye one sama lo!" Arjun tampak menantang Alvan, menciptakan ketegangan di antara mereka. Apakah Arjun serius nantangin Alvan?

Kemudian, Alvan bangkit dari duduknya, menarik ujung kera baju Arjun. Aku mendongak, menatap mereka sambil menaikan kaki ke atas sofa, khawatir mereka menyentuh lukaku.

"Kalau mau ribut, mending di teras, noh. Sana, gua yang jadi wasit," kataku dengan perasaan kesal.

"Ayok!" Seru mereka berdua, tanpa aba-aba, tiba-tiba mereka mengangkat badanku. Saat mereka membawaku menuju teras, adegan yang mengundang tawa terjadi. Arjun, kesulitan mengangkatku karena satu tangannya terbalut perban, sementara aku hampir jatuh karena mereka hampir tidak mampu membopongku.

Kini, aku hanya bisa melihat bagaimana mereka terlibat dalam pertengkaran, Alvan mengincar tangan kiri Arjun, sedangkan Arjun terus mengincar luka di tangan Alvan. Mereka saling mengincar luka satu sama lain, dan aku hanya bisa menatap mereka dengan kelelahan yang terpancar di wajahku.

Tidak berapa lama kemudian, anggota Bradiz datang bersamaan. Sempat terbersit harapan bahwa kedatangan mereka akan menghentikan aksi kedua A itu. Namun, dugaanku meleset. Mereka justru semakin gencar mengejar satu sama lain.

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang