26 - AF

1.3K 92 1
                                    

Dengan langkah mantap, aku meninggalkan lapangan, memutuskan untuk berpamitan sejenak untuk membeli minuman di kantin. Selama perjalanan menuju kantin, mataku tidak henti-hentinya memperhatikan setiap kelas yang tengah asyik dalam proses pembelajaran.

Setibanya di kantin, aku memesan minuman untuk kami berdelapan. Setelah selesai melakukan pembayaran, aku memutuskan untuk segera kembali ke lapangan. Namun, betapa terkejutnya aku ketika melihat lapangan yang kini telah berubah sepenuhnya, hasil ulah kreatif anak-anak Bradiz.

Mereka melukis berbagai bentuk: kelinci, sapi, ulat bulu, ikan hiu, bahkan yang tak terbaca. Aku hanya bisa menggeleng pelan, bertanya-tanya, sebenarnya siapa yang seperti anak PAUD, aku atau mereka?

"Woi, bagi warna putih dong!" teriak Zaidan.

"Sini!" Alvan menyodorkan cat putih, diambil langsung oleh Zaidan.

"Ulat bulu gua jadi jelek, Abyaz!" amuk Evan pada Abyaz yang membawa cat berwarna merah.

Aku terdiam, bingung. Mereka seharusnya mengecat ulang lapangan, tetapi bukan dengan menggambar seperti ini. Sambil memegang belanjaan yang baru saja kubeli, aku hanya bisa memijat pelan pangkal hidungku. Sungguh, keajaiban apa yang mereka ciptakan.

"Jelek banget masa jadi polkadot begini!"

"Bagus, kapan lagi bisa lihat ulat totol-totol kaya gini."

Di ujung kanan sana, Abyaz dan Evan tengah ribut membahas gambar ulat bulu berwarna hijau dengan motif bintik merah.

"Naka, sapi gua udah bagus ya!"

"Kurang itu, sini gua kasih warna lain."

Sementara di ujung kiri, Ezra dan Naka terlibat dalam ribut yang entah tentang apa, sedangkan Zaidan dengan penuh konsentrasi sedang menggambar matahari di tengah lapangan.

Liam tiba-tiba bergabung dengan Zaidan, sedangkan Alvan fokus menggambar ikan hiu di depanku. Sepertinya, mereka menikmati momen melukis di lapangan ini.

"Kalian gak takut dimarahin?" tanyaku begitu sampai di sana.

Serentak mereka menggelengkan kepala, aku hanya menghela napas pelan. Pusing akan tingkah laku mereka. Lalu, Alvan memanggilku untuk mendekatinya.

"Sini, Na."

Aku mendekatinya, dia memberikan satu buah kuas. Jangan bilang aku disuruh membantunya menyelesaikan gambar ikan hiu?

"Apa?" tanyaku, seolah tak paham maksudnya.

"Sini, ngelukis aja. Daripada stres lihat kita ribut," katanya dengan santai.

Aku menggeleng, lalu melihat jam—sebentar lagi pulang sekolah. Dan, betul saja, tak lama kemudian bel pulang berbunyi, para murid mulai berhamburan keluar.

Banyak pasang mata yang menatap ke arah sini. Bagaimana tidak, anggota inti Bradiz sedang sibuk melukis di lapangan sekolah. Ditambah ada aku yang seperti komandan mereka.

"Buset, lapangan berasa kanvas apa ya?"

"Itu ulet jenis apa dah? Totol-totol kaya macan."

"Kelincinya bagus, rapih."

"Hiunya bagus, woi."

"Itu cewek ngapain, sih? Ada di situ?"

"Halah, palingan caper lagi. Noh, liat bawa kresek."

"Tapi katanya dia anggota Bradiz, loh."

"Masa sih?"

"Cek postingan mereka, coba."

Aku terdiam, bingung mau bertindak apa. Terlebih banyak pasang mata yang mulai mendekat. Tak lama kemudian, pak Agus pun datang, mati aku.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now