39 - AF

1K 73 7
                                    

Aku terbangun di tempat sepi, udara dingin menusuk kulitku. Tempat ini kotor seperti gudang, membuatku termenung sejenak. Sadar bahwa aku berada di ruangan penuh dengan barang tak terpakai, bahkan beberapa alat, aku bangkit dan berlari menuju pintu, berharap tidak terkunci.

Ternyata, pintu itu tidak terkunci. Aku membukanya dan melangkah keluar, menemui pemandangan ruang terbuka yang sangat luas. Sepertinya rumah mewah ini kosong.

"Anjing!"

Suaranya memecah keheningan di lantai bawah, membuatku menyadari bahwa aku berada di lantai atas. Segera, aku menuruni tangga untuk mencari asal suara itu. Di lantai bawah, aku bingung melihat beberapa pintu. Aku mendekati pintu yang terdekat dengan tangga.

Dengan hati-hati, aku membuka pintu tersebut, dan kaget melihat ruangan dipenuhi senjata tajam. Aku mundur dan berusaha melarikan diri ke pintu kedua yang terlihat paling dekat bagiku. Sesampainya di sana, bau ruangan membuatku kaget, terutama dengan banyaknya kulkas di sekitar. Dengan rasa penasaran, aku membuka salah satu kulkas. Namun, terkejut hingga tak kuat menahan berat tubuhku. Aku jatuh saat melihat kepala seseorang di dalam kulkas.

Kepala itu berguling dan menyentuh kakiku, air mataku menetes ketika menyadari itu adalah kepala Naka. Rasa takut menyelubungi diriku, terutama ketika melihat rak khusus yang menyimpan bola mata dan organ tubuh lainnya.

"Naka ... ini enggak mungkin."

Sambil menangis, aku menyaksikan jasad Naka. Wajahnya memang sama, tetapi di mana tubuhnya? Apakah daging di sini benar-benar daging manusia?

"Katian, anjing!"

Teriakan Alvan memecah keheningan. Apakah Alvan telah jatuh ke tangan Katian? Jika iya, aku harus menyelamatkannya. Aku bergegas keluar dari ruangan itu, mencari sumber teriakan tadi. Memaksa membuka pintu berwarna hitam, aku menemukan Alvan terikat dengan Katian yang memegang cambuk.

Aku menangis melihat Alvan penuh luka akibat perlakuan Katian, berteriak memanggil namanya sekuat tenaga hingga keduanya menatapku. Meski dalam keadaan sulit, Alvan masih menatapku dengan tatapan sendu. Berbeda dengan Katian yang tersenyum sumringah.

"Udah bangun rupanya, gimana perasaan lo sekarang?" Dia sepenuhnya gila.

Alvan sangat lemah, ingin mendekatinya, tetapi anak buah Katian tiba-tiba mencekal kedua tanganku dengan kuat.

"Shutt ... diem di situ, cukup tangisi cowok lo ini," katanya sambil mendekati Alvan.

"Jangan, Katian!"

Aku berusaha melawan anak buah Katian. Namun, malah membuat lenganku semakin sakit. Meski begitu, aku tak peduli karena nyawa Alvan yang lebih penting.

"Hei, hei jangan menangis dulu," ujarnya sambil tersenyum ke arahku.

"Lepasin Alvan, Katian!"

Dia tertawa keras sambil mencengkram dagu Alvan dengan keras. "Al, lihat, cewek lo di sana nangis. Lo nggak mau peluk kayak biasanya? Enaknya gua apain ya cewek lo?"

Aku melihat Alvan menatap tajam Katian dari kejauhan, tangannya menggenggam erat. Aku masih berusaha melepaskan diri dari cengkraman anak buah Katian.

"Biarin gua mati, asal bebasin cewek gua!" Katian tertawa dengan keras.

"Oh, menyerahkan diri demi seorang gadis?" cibirnya.

Dia mulai menusukkan pisau lipat ke perut Alvan, aku hanya bisa menangis sambil menatapnya. "Kasih tahu gua, gimana rasanya dicintai oleh orang yang lo cinta?"

Kemudian, Katian mendorong tubuh Alvan sehingga tali terputus, dan Alvan jatuh tersungkur dengan pisau masih tertancap di perutnya.

"Alvan, aku mohon, bertahanlah!"

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang