43 - AF

975 71 3
                                    

Malam ini, Arjun dan aku ditemani ayah dan bunda, berkumpul di ruang keluarga setelah pulang dari rumah sakit. Bunda dengan cepat memanggil tukang urut untuk meredakan ketegangan tubuh kami. Arjun diminta untuk menginap di sini, mengingat hari telah menjelang malam.

Setelah memberitahu ayah bahwa kami menjadi korban begal, padahal sebenarnya ulah anak buah Katian, ayah segera menjemput kami. Arjun mengalami terkilir di kaki dan tangan kirinya harus diperban karena luka. Sementara aku hanya mengalami luka di siku tangan kiri dan lecet di sekitar kaki.

Ketika sampai di rumah, Arjun dan aku sempat tertawa melihat keadaan masing-masing, dengan langkah pincang dan sikap kocak, sementara bunda dan ayah hanya bisa menggelengkan kepala menyaksikan tingkah laku kami yang tak terduga.

Tahukah kalian? Anggota Bradiz yang turut membantu kami akhirnya mendapatkan hadiah berupa makan malam dari ayah. Awalnya mereka menolak, tetapi ayah dengan tegas menyatakan bahwa mereka sudah dianggap sebagai anak sendiri. Dari situlah, mereka akhirnya mau menerima pemberian ayah.

Ketika ayah memulai obrolan, bertanya tentang kecelakaan Alvan, aku dan Arjun yang sedang asyik bermain ponsel langsung memfokuskan perhatian pada ayah.

"Iya, Ayah," jawabku, "Ana tadi dari sana lihat Alvan, pulangnya diantar Arjun malah ketemu mereka."

"Apa benar begal? Mengapa mereka melakukan serangan pada jam segitu dan menargetkan anak sekolah?" tanya ayah, menunjukkan kekhawatirannya.

Situasi ini membuat aku dan Arjun membeku, berusaha untuk tetap tenang dan mencari alasan yang kuat. Untuk sementara, kita sepakati untuk merahasiakan masalah ini dari ayah.

"Kemungkinan memang begitu, Mas," ujar bunda, mencoba memberikan penjelasan. "Sekarang ini banyak remaja yang terlibat dalam tindakan agresif dan menyerang orang lain."

Mendengar penjelasan bunda, ayah mengangguk mengerti sambil mengusap lembut pipi gembul Argan yang sedang tertidur di pangkuannya.

"Kalau kita menemui orang tersebut, aku tidak akan membiarkan dia selamat dengan mudah," tambah ayah dengan tegas, menunjukkan tekadnya untuk melindungi keluarga.

Aku dan Arjun saling menyenggol, kemudian bertatap muka dengan mata yang penuh kode dari ekspresi wajah.

"Serem juga bokap lo," goda Arjun, dan aku hanya bisa mengangguk setuju dengan komentarnya.

"Coba vidcall Alvan, Nak. Ayah ingin tahu keadaannya," kata ayah seraya memberikan petunjuk.

Aku segera mencari kontak Alvan, dan ternyata sudah ada beberapa pesan yang masuk dari dia. Tanpa ragu, aku memulai vidcall bersamanya. Panggilan itu segera diterima, dan aku melihat Alvan sedang terbaring di kasurnya. Sebuah senyuman muncul di wajahku melihatnya, terlihat seperti baru bangun tidur.

"Kenapa?" ucapnya dengan nada serak itu, sementara aku merasakan kebingungan dalam suaranya.

"Ayah ingin ngobrol sama kamu, Alvan," aku menjelaskan. Di seberang sana, Alvan mengangguk, memberikan izin untuk membuka saluran komunikasi.

Aku menyerahkan ponsel pada ayah, yang langsung disambut senyuman saat melihat wajah Alvan di layar.

"Alvan, om dengar kamu juga kecelakaan?" tanya ayah dengan nada keprihatinan yang terdengar dari suaranya.

"Iya om, tadi sore," jawab Alvan, menggambarkan situasi yang dia alami.

"Keadaan kamu gimana sekarang?" tanya ayah, terdengar kekhawatiran dalam suaranya.

"Gak apa-apa Om, cuman luka di kaki aja," jawab Alvan dengan suara yang tenang, "kebetulan waktu kecelakaan, saya pakai hodie jadi yang luka cuma di kaki."

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now