35 - AF

1.2K 85 8
                                    

Kali ini, kami berdelapan berada di lapangan sekolah. Beberapa kaleng cat sudah tersedia di sini, dan aku melihat mereka melepaskan seragam atasan. Sekarang, mereka mengenakan kaos biasa dengan celana sekolah.

Jika kalian bertanya, apakah aku ikut mengecat atau tidak? Jawabannya iya. Namun, aku memilih mengganti rok dengan celana milik Alvan. Kakiku jadi tenggelam.

Saat ini, aku bersama Ezra dan Evan. Meskipun awalnya aku bersama Alvan di bagian kanan lapangan, melihat kedua anak itu membuat aku beralih bergabung dengan mereka.

"Nanti pas di markas, mau pada makan apa?" tanya Ezra memulai obrolan.

"Apa, ya? Gue sih pengennya daging," ucap Evan sambil mengaduk kaleng cat.

"Lo, Va, pengennya apa?"

"Apa aja, toh yang masak juga lo, Zra. Eh, tapi kalau nasi goreng daging, gimana?" tanyaku. Kulihat Evan paling semangat mengacungkan ibu jarinya.

"Ngomongin nasi goreng, gua jadi keinget sama Liam," kata Ezra.

"Kenapa emangnya?" tanya Evan.

Aku hanya diam sambil membetulkan celana milik Alvan; sial, bisa-bisanya melorot seperti ini. Untung saja aku masih memakai rok di dalamnya, jadi bisa dikatakan aku memakai dua-duanya.

"Biasanya kalau masak gitu yang gosong pasti makanannya, 'kan?" Kami berdua mengangguk bersamaan. "Nah, kalau Liam yang masak, pasti yang gosong wajannya, bukan malah makanannya."

Kami bertiga spontan tertawa, terlebih lagi Ezra yang terbahak puas. "Pantesan aja, waktu itu gua lihat di dapur ada banyak asap. Gua kirain kerjain lo, karena cuma lo suka di dapur," tutur Evan.

Ezra mencoba meredakan tawa, setelahnya menggelengkan kepala, "Bukan gua, waktu itu Liam katanya mau buat nasi goreng. Gua udah ngingetin buat enggak pakai api besar, dia ngangguk aja tuh."

"Terus gimana?" tanyaku.

"Dapur penuh sama asap, Va. Gua yang nyium bau gosong panik dong? Gua datengin tuh anak, gua ngomel pas liat dia ternyata nyalainnya pake api besar. Dan lo pada tau dia bilang apa?" Kami berdua menggelengkan kepala.

"Zra, semua api bukannya sama, ya? Dia ngomong gitu pake muka polos, jadi, mau noyor pala dia juga gua enggak bisa, karena terlanjur cengo," katanya dengan semangat, tak lupa memperagakan ulang raut wajah Liam waktu itu.

Aku dan Evan benar-benar dibuat tertawa oleh cerita Ezra, ditambah dengan lanjutan cerita yang terjadi membuat kami terbahak bertiga. Hal itu mengundang perhatian yang lain.

"Woi, ngetawain apaan? Kayaknya seru bener." Dari jauh, Abyaz berjalan mendekat ke arah kami, begitupun dengan yang lain. Rupanya mereka semua telah selesai melakukannya.

"Ayo ke kantin, gerah banget anjir!" Naka datang menghampiri kami, aku melihat dia yang mengipasi area wajah.

"Simpen dulu sisa catnya di sana." Liam menunjuk ke arah sudut lapangan bagian kiri.

"Udahlah ngadem di sini aja, tanggung kita juga bakal balik," ujar Zaidan.

Melihat mereka yang kelelahan, membuat aku berinisiatif untuk menawarkan diri membeli minuman untuk mereka. "Yaudah, gua aja yang beliin kalian minuman. Kalian di sini aja, ngadem."

Alvan yang mendengar itu segera menatapku, "Jangan sendirian, Abyaz temenin sana," perintahnya.

"Gua sebenernya mager, tapi berhubung yang beliin Auva, ayolah berangkat kita." Aku terkekeh mendengar ucapannya.

Melihat aku dan Abyaz yang sudah sigap berdiri, Zaidan dengan segera mengeluarkan dompet dan menarik selembar uang berwarna merah. Uang itu ia serahkan ke arahku.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now