32 - AF

1.3K 83 7
                                    

Pagi ini, ayah mengantarku ke sekolah. Ternyata, Alvan kesiangan, sungguh langka anak itu bangun siang. Hubungan aku dan Alvan sejauh ini baik-baik saja. Meski kita jarang menggunakan panggilan seperti sayang atau yang lainnya, kita berdua tetap menikmati setiap kebersamaan yang sudah kita lewati.

Alvan mengatakan bahwa dia terlalu kaku jika harus menggunakan aku-kamu, atau bahkan sayang. Aku tidak mempermasalahkan hal itu, bukankah hubungan yang paling penting itu kenyamanan setelah kepercayaan?

Jadi, aku tidak mempermasalahkan hal itu lebih dalam. Bahkan, aku memberitahunya bahwa saat bersamaku, cukup menjadi dirinya sendiri. Dia bilang akan mencoba lebih bersikap asli tanpa ada tekanan.

Namun, dia meminta padaku untuk mengubah kosa kata menggunakan aku-kamu. Katanya, dengan aku yang seperti itu, mungkin dia bisa berubah juga. Aku menyanggupi ucapannya, dan dia tersenyum manis. Senyum itu membuat aku semakin mencintainya.

"Nak, pulangnya mau ayah jemput atau mau sama Alvan?" tanya Ayah ketika aku hendak turun dari mobil.

"Mungkin sama Alvan, Yah. Katanya, Ezra mau masak apa gitu, lupa," jawabku.

"Jadi kamu sama yang lain mau makan siangnya di markas?"

Aku mengangguk, "Iya, engga apa-apa kan Yah? Soalnya, Ezra abis menang undian."

"Undian apa?"

"Panci pink," bisikku ke Ayah, lalu kami berdua tertawa kecil.

"Temanmu menang undian panci pink?" Aku mengangguk, lalu Ayah melanjutkan ucapannya. "Hebat ya, baru menang undian panci pink langsung diajak makan-makan. Nanti kalau menang undian satu set panci, kayanya kamu bakal diajak tour sama dia."

Aku dan Ayah tertawa bersama, "Bisa jadi, Ayah, tapi lumayan juga 'kan?" Ayah mengangguk.

"Temen-temen kamu itu ajaib semua, Ayah gak masalahin selagi mereka bisa bikin putri Ayah bahagia, maka Ayah izinkan, Nak."

"Aaa jadi makin sayang sama Ayah."

"Sudah, Nak. Sekolah sana, nanti gerbangnya keburu ditutup."

Akhirnya, aku berpamitan pada Ayah. Setelah melihat mobil Ayah sudah tak terlihat, aku pun masuk ke dalam sekolah. Namun, anehnya, tatapan para siswi di sini sangat sinis padaku. Ada apa ini?

"Ini nih, katanya sih jadi anggota Bradiz juga."

"Oh, jadi dia? Pasti dia maksa tuh buat masuk."

"Dia bukannya selalu sendiri di perpustakaan, ya?"

"Heem, yang selalu menyendiri, eh sekarang masuk Bradiz."

"Tapi ya wajar sih dia cantik, mungkin Bradiz sendiri yang merekrut dia."

"Mana mungkin!"

"Hooh, kan lo pada tau, Bradiz anaknya berprestasi semua."

"Bisa apa sih dia?"

"Bisa apa aja yang penting gak nyinyir dan julid kayak kalian."

Aku terkejut, itu suara Alvan. Aku membalikan diri, dan benar saja, di sana ada Alvan dengan tote bag di tangan kanannya. Alvan menatap dengan wajah yang super datar, lalu dia menghampiri aku dan menyerahkan tote bag itu.

Ini masih di koridor sekolah, mereka semua memperhatikan interaksi aku dan juga Alvan. Aku melihat dia mengangguk, mau tak mau aku menerima tote bag itu, dan benar saja, ini paket yang dijanjikan oleh Alvan.

Setelahnya, dia menggandeng tanganku dan membawaku pergi menuju ke kelas. Sebelumnya, dia berbisik padaku, "Haruskah gua publish sekarang? Biar yang panas makin panas?" katanya.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now