50 - AF

1.1K 71 6
                                    

Aku terbangun karena sinar matahari yang bersinar masuk melalui celah-celah jendela. Dengan posisi terikat dan terduduk, aku mencoba bersandar di dinding sambil mengamati sekitar.

Di ujung ruangan, ada seseorang yang tengah duduk, menikmati sebatang rokok. Aku menatapnya dalam diam, dan sosok itu sepertinya menyadari bahwa aku terus memperhatikannya.

"Udah bangun, tuan putri?" Aku melihatnya mengepulkan asap rokok itu dengan santai.

"Lepasin gua, Katian."

"Apa? Apa enggak denger gua." Dia tampak asik dengan rokoknya.

"Lepasin gua brengsek!" Dia tertawa kecil, lalu aku melihat dia membuang rokoknya dan menginjaknya, sikapnya terkesan acuh.

"Gua lepasin lo gitu aja? Ngimpi!"

"Lo punya masalah apa sih, gila ya." Katian perlahan mendekat ke arahku, berjongkok dengan ekspresi yang tak terbaca. Dia tersenyum, tetapi senyuman itu bagiku terasa sangat mengerikan.

"Gua emang gila, bahkan gua pernah dimasukin ke RSJ oleh tua bangka itu." Katian menyampaikan pengakuan yang membuatku terdiam, menciptakan keheningan yang tak terelakkan.

"Sejujurnya, gua gak mau nyakitin lo, Va. Lo itu cantik, lo itu baik, kaya malaikat. Tapi .... karena lo kelemahan Alvan, jadi gua terpaksa ngelakuin ini. Ada untungnya juga, gua bisa mandangin wajah cantik lo itu setiap detik, setiap menit." Dia menyeringai, dan aku menatap tak percaya pada ucapan yang keluar dari mulutnya.

"Tolol! Lo punya masalah sama Alvan tapi lo malah nyeret beberapa orang yang bahkan gak bersalah sama sekali. Pengecut!" ucapku dengan penuh semangat, mendengar itu Katian mencengkram erat rahangku.

Wajahnya mencerminkan campuran antara kepuasan dan kemarahan. Suasana ruangan menjadi tegang, dan aku berusaha menahan diri dari rasa takut yang mulai menghampiri.

"Coba ulang lagi omongan lo tadi," perintahnya, aku hanya bisa menatapnya sinis.

"Lo itu pengecut!"

Aku merasakan cengkraman pada rahangku semakin menguat, tak ingin terlihat takut, aku memilih untuk menahan rintihan yang hampir keluar. Kedua mataku menatap tajam, mencoba mempertahankan sikap tegar meski dalam keadaan terbatas.

"Cowok lo lebih pengecut, Auva!" sentaknya, dan akibat dorongan dari Katian, aku terhuyung ke samping.

"Lebih pengecut mana sama orang yang gak berani bertanya langsung tentang kejadian yang terjadi," ucapku secara perlahan, mencoba mempertahankan diri.

"Lo enggak tahu apa-apa, jadi diam!" Dia membentakku begitu saja, kini matanya menatap marah padaku.

"Cowok gua pengecut dibagian mana? Dia berusaha deketin lo, tapi, lo ngejauh dan milih dendam." Aku melanjutkan dengan nada menantang, mencoba memojokkannya dalam perdebatan yang semakin memanas.

"Lo itu gak tahu apa-apa, jadi stop untuk bicara yang gak bermutu itu!" Aku tertawa mendengarnya, omong kosong macam apa ini?

"Gua gak tahu apa-apa? Bahkan gua tau kejadian tentang cewek yang gak lo tahu, Katian. Lo itu cowok tolol, jadi pantas kalau kata itu melekat pada lo." Dia mengepalkan tangannya, lalu memukul lemari kayu di samping tubuhnya. Ternyata, Katian mudah dipancing emosinya.

"Apa lo tau kalau sebenernya cowok lo juga pelaku dari kematian cewek gua? Karena cowok lo yang akhirnya bikin dia depresi, iya?" Katian melanjutkan, sambil melihat reaksi yang muncul di wajahku. Aku menggelengkan kepala, ini salah paham.

"Lo seharusnya dendam sama kakak tirinya dia, bodoh. Bukan malah ke Alvan, otak lo cuman mikir dendam, dendam, dendam, makanya otak lo itu bodoh."

Tiba-tiba saja, Jefri masuk bersama Gisel, bau-baunya tidak bagus ini. Terlebih lagi Gisel yang tersenyum sumringah. "Hai kak Auva, ketemu lagi ya haha," sapanya dengan riang, aku merasa muak berada di sini dengan mereka bertiga.

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang