30 - AF

1.5K 94 9
                                    

Sampai di rumah setelah acara rujak dadakan tadi, Alvan langsung mengantarku pulang. Di rumah, aku dikejutkan dengan sebuah kotak berukuran sedang, lengkap dengan pita merah di atasnya.

Aku mengambilnya lalu melihat sekeliling kotak itu, berharap menemukan tanda pengenal dari sang pengirim. Namun, tidak ada satu pun yang tertera di sana. Menggoyangkan kotak tersebut, aku merasakan sedikit berat. Tanpa ingin terlalu dipusingkan, aku memutuskan untuk menyimpannya saja.

Aku melangkah masuk dengan membawa kotak tersebut, sambil mencari keberadaan bunda. Ternyata, bunda sedang tidak berada di rumah. Akan kusampaikan nanti saja.

Aku masuk ke dalam kamar, menaruh kotak di atas meja belajar bersama tas sekolah. Nanti akan ku bukanya. Lebih baik sekarang aku bergegas mandi karena badanku sudah penuh keringat. Sebelumnya, aku mencharger ponsel, menyimpan sepatu sekolah, dan mengambil handuk untuk mandi.

Aku melangkah masuk dengan membawa kotak tersebut, sambil mencari keberadaan bunda. Ternyata, bunda sedang tidak berada di rumah. Akan kusampaikan nanti saja.

Aku masuk ke dalam kamar, menaruh kotak di atas meja belajar bersama tas sekolah. Nanti akan aku buka. Lebih baik sekarang aku bergegas mandi karena badanku sudah penuh keringat. Sebelumnya, aku men-charger ponsel, menyimpan sepatu sekolah, dan mengambil handuk untuk mandi.

Setelah menyegarkan diri dengan mandi, aku duduk di pinggir kasur sambil terus mengeringkan rambut dengan handuk. Saat itu juga, ponselku berbunyi. Aku bangkit dari duduk dan berjalan mendekat untuk mengambil ponsel.

Tertera nama Alvan di sana. Tumben sekali dia meneleponku. Dengan masih dalam posisi mengeringkan rambut, aku mengangkat teleponnya.

"Halo?"

"Di rumah ada siapa?"

Aku sedikit bingung, kenapa dia langsung bertanya seperti itu?

"Sendirian, bunda pergi kayaknya. Kenapa?"

Aku mendengar umpatan kecil darinya. Ada apa dengannya? Sementara aku mencoba memahami, terdengar suara gemuruh dari seberang telepon. Sepertinya ada masalah atau kegelisahan yang tidak dikatakannya secara langsung.

"Gua lagi enggak bisa ke sana, lo tunggu di situ biar gua suruh anak-anak dateng ke rumah."

Nada bicaranya sedikit panik dan khawatir.

"Gua minta sama lo kunci pintu depan, dan jangan dibuka sebelum anak-anak datang neriakin lo."

Hah, ada apa ini? Aku dengan cepat melakukan perintahnya untuk mengunci pintu depan. Rasa takut melanda ketika Alvan tiba-tiba menghubungiku dengan nada bicara yang panik dan khawatir. Sementara itu, pikiranku melayang-layang mencoba memahami urgensi dan keadaan yang dialaminya.

"Lo tunggu di situ jangan bergerak ke mana-mana. Pastiin juga pintu belakang terkunci rapat, gua nanti nyusul."

Ucapan tegas darinya membuat aku tergesa-gesa mendekati pintu belakang dan menguncinya, perasaanku menjadi sedikit tidak enak. Sambungan telepon dari Alvan terputus begitu saja. Aku berusaha untuk tidak panik, berusaha berpikir positif. Sampai pada akhirnya, aku mendengar suara motor yang berhenti.

Aku mencoba mendekati pintu, dan ternyata dari luar sana, seseorang membuat kegaduhan, tampaknya pintu itu seolah-olah ingin dibuka. Aku merasa bingung, tidak tahu harus berbuat apa, sambil mengingat ucapan Alvan barusan.

Ketika aku berdiri di balik pintu, terdengar suara mereka yang berusaha mendobrak pintu dan menggeledah rumah ini. Aku mencoba menghubungi Alvan atau pun Liam, tetapi tak ada satu pun yang menjawab panggilanku. Arjun, namanya yang terlintas dalam benakku. Aku mencoba untuk menghubunginya. Namun, sayangnya, tak ada satu pun panggilan yang terjawab.

ABOUT FEELINGS [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora