13 - AF

1.7K 117 2
                                    

Di pagi yang cerah, suasana tenang di sekitar rumahku berubah secara drastis saat sosok-sosok tak diinginkan mendekat. Sambil menggendong Argan, aku merasakan gelombang ketidakpuasan melihat kedatangan anak-anak Bradiz. Bahkan, Bunda dengan ramah menyambut mereka. Sementara aku mencoba menahan amarah yang memuncak, pikiranku hanya satu, kenapa mereka datang?

"Ngapain mereka ada di sini?" gumamku pelan, mataku memancarkan ketidakpuasan. Aku tahu, hari ini tidak akan sebaik yang kubayangkan.

Saat itu, Arjun muncul dari arah dapur, membawa sepotong roti dalam genggamannya. Pandangan tajamnya melayang ke arah anggota Bradiz yang menyemarakkan kegaduhan di ruang tamu. Ruangan itu seketika terisi dengan ketegangan yang hening.

Arjun berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan ekspresi yang tak menyembunyikan ketidaksetujuan. Meskipun sepertinya tak ada kata yang terucap, tajamnya pandangan Arjun sudah cukup memberi peringatan kepada anggota Bradiz.

Aku memutar mataku sejenak untuk memandang Arjun, berharap dia membawa keajaiban yang bisa meredakan kekacauan yang tak diundang ini.

Arjun menatap mereka dengan perasaan kesal, dan lalu dia bertanya, "Kenapa kalian datang ke sini?" Suaranya menusuk ruangan, mencerminkan ketidaksetujuan yang jelas.

Salah satu dari anggota Bradiz dengan santainya menjawab, "Kita cuma mau minta maaf sama Auva, Jun."

Mendengar jawaban itu membuat Arjun menyunggingkan senyum sinisnya. Aksi ini membuat anggota Bradiz kesal, tetapi sebisa mungkin mereka menahan amarahnya. Arjun mendekat ke arahku, lalu bersisik, "Hati-hati, jangan sampai semuanya ketahuan." Setelah itu, Arjun menatap mereka dengan penuh makna sebelum berpamitan.

Sebelum pergi, Arjun menatap wajah Alvan sambil tersenyum miring. Senyum itu menyiratkan pesan yang tak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang membuat hatiku berdebar-debar. Aku hanya bisa menatap mereka penuh pertanyaan dan kebingungan.

Arjun berpamitan pada Bunda dengan senyum ramahnya, "Maaf, Bun, ada urusan mendesak nih. Tapi tenang, Njun nanti balik lagi ke sini."

Bunda hanya tersenyum dan berterima kasih padanya. Sebelum benar-benar pergi, Arjun menambahkan dengan nada humor, "Nanti sore Arjun balik lagi Bun, enggak enak ada hama di sini. Sampai jumpa sore, Na!"

Setelah pamitan dengan penuh keceriaan, Arjun melangkah keluar dari rumah, meninggalkan aku dalam kebingungan dan kekacauan yang ditinggalkan oleh anggota Bradiz.

Bunda berusaha mengambil Argan untuk dibaringkan, tetapi aku menolak. "Belum, Bunda, dia belum terlalu lelap," ujarku sambil menggendong Argan yang menggeliat dalam tidurnya.

Bunda mengangguk pengertian, "Baiklah, Nak. Panggil saja jika butuh bantuan." Bunda memberi senyuman dan berpamitan pergi.

Kemudian, mereka yang duduk di ruang tamu masih menatapku dengan berbagai ekspresi. Aku merasa perlu menyelesaikan masalah ini.

"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Sini duduk dulu, ada yang mau kita bahas," ujar Liam, mengalihkan perhatian ke permasalahan yang lebih serius.

Aku mengangguk, duduk di samping Naka, dan suasana semakin tegang. Setelahnya, Ezra berdeham, dan dilanjut dengan ucapan dari Liam yang membuatku terkejut.

"Gua di sini ingin minta maaf atas kejadian kemarin, lo mau maafin hal itu?"

Loh, ini enggak salah?

Pasalnya, yang aku tahu, Bradiz itu jarang sekali meminta maaf secara langsung seperti ini. Biasanya mereka akan mengirimkan salah satu anggotanya. Jelas membuat aku terkejut bukan main. Akan aku bicarakan nanti dengan Arjun.

"Emangnya kalian ngapain?" tanyaku dengan tatapan polos, tentu saja ini pura-pura.

Mereka semua terdiam sejenak. Lagian, kalau dipikir juga, kenapa harus mereka yang minta maaf? Seharusnya para pelaku yang membullyku.

"Atas tindakan Wulan yang nampar dan nerjang lo di kelas, gua sebagai mantannya minta maaf banget, Va," tutur Abyaz dengan tulus.

"Buat lo yang ditampar Angel, kita bakal balas mereka. Jadi lo mau nerima permohonan maaf kita?"

Aku membelalakkan mata mendengar perkataan dari Liam. Benarkah mereka benar-benar ingin meminta maaf dariku?

Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. Baiklah, kumaafkan mereka karena sejak tadi aku melihat Alvan yang duduk dengan gelisah.

Bagus, sepertinya ini akal-akalan Alvan, terlihat dari gaya duduknya yang tak bisa diam. Berita hangat buat Arjun.

"Iya, gua maafin kalian." Mendengar itu, Abyaz dan yang lain segera berteriak heboh, membuat Argan terkejut dan menangis.

Aku menatap sinis mereka dan segera menggendong Argan, mencoba menenangkan bayi gembul itu. Ezra segera memarahi Abyaz dan yang lain, membuat mereka ikut kelabakan menenangkan Argan.

Untungnya, Zaidan punya taktik bagus untuk membuat bayi gempal itu berhenti menangis. Ia mengikat rambut Argan menjadi kuciran, membuat perhatian Argan teralihkan akibat senyum Zaidan.

Aku dan yang lain bernapas lega ketika mendengar suara gelak tawa Argan akibat Zaidan. Syukurlah, setidaknya bayi gempal ini tidak menangis lagi.

"Lo sih makanya jangan teriak bego!" seru Naka pada Abyaz.

Abyaz yang tak terima menatap sinis Naka, "Lo juga teriak kampret! Enggak usah nyalahin gua," ujarnya ketus.

Biarlah mereka berdebat, asal Argan tak menangis saja. Kulihat bayi itu kini sudah nyaman berada digendongan Zaidan, memang sih Zaidan membawa suasana positif.

Aku duduk di sofa melihat mereka semua, lalu Bunda datang membawakan minuman dan juga cemilan. Mereka semua tersenyum dan tak lupa berujar kata terima kasih. Bunda hanya tersenyum lalu pergi begitu saja, melanjutkan acara bersih-bersih rumahnya.

Naka yang melihat itu langsung menyerbu salah satu cemilan yang dibuat oleh Bunda. Remaja itu nampaknya tidak ingin berbagi. Iya, terbukti dari dirinya memeluk satu toples kue kering tersebut.

Evan yang memang melirik cemilan tersebut segera mendekat ke arah Naka. Namun, Naka tetaplah Naka. Remaja itu benar-benar menyembunyikan toples kaca tersebut dari Evan.

"Minta Naka, buset dikekepin sendiri."

"Ogah, masih banyak itu yang lain."

"Gua pengennya itu."

Naka menggeleng, lalu mendekap erat toples tersebut. Abyaz santai meminum es teh sambil terus memperhatikan tingkah mereka.

Mereka ini malah berebut makanan, sedangkan yang lain hanya asyik menonton perdebatan itu. Hingga akhirnya, Zaidan dengan jail menaruh Argan pada pangkuan Alvan, membuat bayi itu kembali menangis.

Sedangkan Alvan, dia terdiam membeku. Dirinya terkejut karena ternyata popok Argan mengalami kebocoran, sehingga celananya kini basah.

Satu ruangan tertawa melihatnya, berbeda dengan Alvan yang kini memerah antara malu dan juga kesal. Aku sungguh kasihan padamu, Alvan.

"Untung masih bayi lo, kalau gede udah gua ajak ribut."

ー ABOUT FEELINGS ー

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now