20 - AF

1.7K 104 26
                                    

Aku keluar dari kamar setelah dikabari oleh Alvan bahwa dia sudah berada di depan rumah. Waktu masih menunjukkan jam 7 malam, Alvan bilang padaku ia ingin aku sedikit lebih lama bersama mereka. Bersama mereka atau bersama aku? Yang jelas, sekarang aku merasa bahagia.

Aku melihat Alvan tengah mengobrol dengan kedua orang tuaku, aku menghampiri mereka semua. Lalu, aku duduk di sebelah Alvan. Ayah seperti biasanya memberikan senyum hangatnya.

"Inget ya, Alvan, jangan pulangin anak om tengah malam. Minimal jam sembilan malam dan maksimal jam sepuluh malam."

Alvan mengangguk, "Iya, Om. Alvan anterin di jam segitu, enggak lebih, tenang saja."

"Bagus, om percaya sama kamu."

"Ya sudah, Om, kami pamit dulu." Kami berpamitan pada kedua orang tuaku.

Setelah itu, kami berjalan menuju motornya, di sana sudah ada dua helm. Tanpa diminta, Alvan memakaikan helmnya di kepalaku. Aku tersenyum padanya, dan ia pun membalas senyumnya.

"Pas enggak helmnya?" tanyanya.

"Kegedean dikit, tapi enggak apa-apa."

"Baguslah, yaudah ayo," titahnya.

Saat aku menaiki motor milik Alvan, seperti yang sering terjadi, ia meraih tanganku untuk dipeluk pinggangnya. Dengan dagu bertumpu di bahunya, aku memperhatikan matanya yang sipit, mengisyaratkan senyum. Setelah mengangguk, motor pun melaju, membelah langit malam.

Selama perjalanan, Alvan tak jarang mengelus punggung tanganku, seolah-olah itu menjadi kegemarannya yang baru. Adakah kemungkinan bahwa ia dapat merasakan denyut jantungku yang berdetak semakin kencang? Aku berharap begitu.

Motor belok menuju mini market, dan ekspresi kebingungan tergambar di wajahku. Setelah diinstruksikan oleh Alvan, aku turun dari motor. Tanpa sepatah kata, Alvan dengan cekatan melepaskan helmku. Aku sebenarnya ingin melakukannya sendiri, tetapi tangannya lebih gesit daripada milikku.

"Cari mie instan dulu, sekalian snack," ucapnya.

Aku mengangguk, lalu mengikuti langkahnya. Alvan membuka pintu dan menyuruhku masuk lebih dulu, kemudian mengambil keranjang, berjalan menelusuri rak mie instan.

"Mie instan yang itu lima, sama yang itu empat," tunjuknya, aku pun mengambil dan memasukkan ke dalam keranjang.

"Ayo, cari snack." Dia menggenggam tanganku, dan kami mulai mencari snack.

Apakah ini yang dirasakan ketika bergandengan tangan dengan Alvan? Telapak tangannya yang besar, agak kasar, tetapi begitu nyaman dan hangat.

"Lo mau apa, Na?" Tanyanya setelah berhasil mendapatkan semua yang ia cari.

Mataku sekilas melihat area permen, dan tiba-tiba aku merasa ingin membeli yupi. Aku menarik tangannya menuju rak permen.

"Gue pengen yupi deh, sama kinderjoy."

Tanpa banyak bicara, Alvan mengambil dua bungkus yupi dan lima buah kinderjoy. Aku tersenyum, "Udah ini aja?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk, dan kami berdua melangkah menuju kasir. Bahkan setelah sampai di sana, dia tidak melepaskan genggaman tanganku, dan aku merasakan punggung tanganku dielus lembut oleh ibu jarinya.

Ketika kasir menyebutkan nominalnya, Alvan membayar dan mengambil belanjaannya. Setelah itu, kami meninggalkan toko menuju markas.

Setelah sampai di markas, suasana sudah sangat ramai. Alvan, setelah memarkirkan motornya, meraih tangan kananku dan menggenggamnya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya membawa belanjaan.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now