31 - AF

1.3K 74 7
                                    

Malam ini, aku menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama Arjun melalui telepon. Aku penasaran dengan kejadian tadi sore dan bagaimana akhirnya dia bisa membantu Alvan.

Sementara itu, Alvan sekarang tertidur. Terlihat dia cukup lelah, mungkin karena kejadian tadi. Liam memberitahuku bahwa Alvan sudah di sana sejak sore hari, dan mengenai bingkisan tadi, Arjun membawanya pulang. Meski tak tahu pasti untuk apa, Bunda sepertinya tak bertanya lebih lanjut. Aku masih ingat percakapan sore tadi ketika bunda pulang bersama Argan dengan satu kresek putih, sepertinya waktu itu bunda sedang berbelanja.

"Loh Jun, kenapa mukamu terlihat begitu?"

"Biasa, Bun. Tadi ada anak rese yang ngehadang, karena posisinya dekat rumah bunda, jadi Arjun datang ke sini," jelasnya.

Bunda sepertinya ragu, tetapi hanya menghela napas panjang. "Ini kado siapa?" tanyanya sambil mendekati kami.

Sontak kami panik, khawatir Bunda membuka dan terkejut dengan isinya. Arjun bergerak cepat mengambil serta memeluk kotak tersebut.

"Ini punya Njun, dari penggemar biasa," ujarnya sambil tersenyum kecil.

"Iya, tadi ada yang nitip buat Arjun lewat Ana," tambahku, dengan harapan Bunda tidak mengetahui isi kotak tersebut.

"Nah iya. Bun, Njun pamit pulang ya. Sudah sore," ucap Arjun sambil membawa kotak dan berpamitan pada Bunda.

Aku menghela napas lega setelah Arjun pergi. Kalian tahu, sekarang aku tengah mengobrol bersamanya, dan jujur saja, masih ada rasa ingin tahu di dalam hatiku.

"Apa? Gua mau mabar ini."

Dalam hati, aku hanya mengernyit. Main bareng katanya? Tadi dia bilang telepon saja lewat aplikasi hijau, tapi begitu dihubungi, malah seperti ini.

"Gue masih penasaran tentang masalah sore tadi, jelasin dong."

"Masalah apa?"

Ini beneran dia lupa atau gimana sih?

"Yang waktu lo bantu Alvan, ceritainlah," desakku.

"Eh, anjing! Fanny gue malah di-banned. Aduh sial, gua pake apa nih?"

Arjun, ini sialan, malah cuekin aku. Kalau gak mau cerita, gak usah suruh telepon daripada bikin ribet sendiri.

"Njun, denger gak sih, tadi di-chat disuruh telepon, tapi begitu di telepon malah sibuk sendiri," keluhku.

"Si Cecep marahin gih, ngajakin gua mabar malah pengen digendong terus. Dan lagi, Fanny gua lagi di-banned."

Kenapa malah dia yang marah? Kalau hero kesukaannya gak bisa dipakai, ya sudah, terima nasib, jangan malah marah-marahin orang.

"Kan bisa sambil main, jelasin kenapa kalian sampe lebam, luka gitu," pintaku.

"CECEP, BANGSAT, BUFF GUA LO AMBIL!"

Segera aku menjauhkan ponsel dari telinga. Demi apa pun, Arjun berteriak begitu saja. Tidakkah dia menyadari bahwa teriakannya itu menyakitkan telingaku?

Kemudian, terdengar kegaduhan di sana. Aku menghela napas. Cukup lelah, aku memilih untuk menyalakan loudspeaker panggilan daripada harus mendengar langsung teriakan dan makian dari Arjun.

"Nana, anjing! Kagak mau mati apa, ya? Nyawa tinggal dikit."

"Molina, asu!"

Baiklah, biarkan saja. Aku tunggu dia sampai selesai bermain. Lebih baik aku mempersiapkan keperluan sekolah besok daripada tidak ada kerjaan lagi.

"CECEP, LORD CEP! WOI, MOLINA ASU!"

"Lard-Lord, Lard-Lord, matamu Juned! Gue mati, bangsat, gara-gara Chou."

ABOUT FEELINGS [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora