12 - AF

1.7K 119 12
                                    

Setelah insiden ulah Naka, kini kami semua bersiap pulang. Bel pulang sudah berbunyi sejak dua menit yang lalu. Tanpa mempedulikan barang-barang Naka yang masih tergeletak di atas meja, aku memutuskan untuk meninggalkan kelas bersama yang lain.

Di koridor, terdengar teriakan memanggil namaku. Aku beralih pandang dan melihat Juan bersama temannya.

"Auva!"

Wajah temannya agak asing, namun, sepertinya pernah aku temui. Di mana ya?

Aku tetap diam sampai Juan menyenggol lenganku.

"Ini David, Va." Dengan penuh pengertian, Juan memperkenalkan temannya. Aku hanya mengangguk.

"Gua, Auva."

Aku melihat David tetap diam, membuatku bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah dia seperti Alvan yang berbicara dengan irit?

Dilihat dari gaya berdirinya dan pandangannya yang mirip Alvan, terlihat cuek dan dingin. Akan tetapi sepertinya, itu semua salah.

"Oh anjir, jadi ini Auva?"

Baiklah, lain kali aku takkan sembarangan menilai orang. Kini David mendekat, memutar tubuhku sambil terus berteriak, yang membuatku kesal, hingga akhirnya aku mendorong tubuh jangkung itu.

"Asem! Gue kira lo itu kalem, taunya sama aja kaya yang lain." Juan tertawa melihatnya, sementara David sendiri sekarang terduduk sambil meringis.

"Teganya lo dorong gue, Va."

"Bodo amat lah, lo rese sih."

David bangkit, memegang area yang terasa sakit. Ekspresi cemberutnya membuatku hampir melemparkan sepatu ke arahnya.

"Udah ah, ayo pulang. Mau ketemu Arjun enggak, Va?" tanya Juan. Sepertinya hanya Juan yang masih waras di sini.

"Enggak ah, tapi kita jajan aja keluar." Mereka mengangguk.

Pada akhirnya, aku berjalan beriringan bersama mereka. Posisiku di tengah membuatku mencebikkan bibir kesal. Kenapa tinggiku hanya sebatas bahu mereka?

"Va, lo sama gua aja, ya?" pinta David.

Aku hanya mengangguk. Namun, Juan menggelengkan kepalanya, pertanda bahwa ia tak setuju. Apakah ini akan menjadi bahan keributan untuk kesekian kalinya?

"Auva sama gua, enggak usah sok dekat deh," ketusnya. Aku hanya bisa menahan tawa.

"Lo udah sering bajigur, biar gua sama dia sesekali," ujar David, Juan hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Terjadilah perdebatan di antara mereka, sementara aku hanya merotasikan mata melihat tingkah mereka berdua. Ku dorong kedua badannya, meskipun tidak bergeser jauh.

Dari jauh, aku melihat Alvan dan yang lain masih berada di parkiran, sepertinya mereka belum meninggalkan sekolah.

Melihat perdebatan antara David dan Juan yang tak kunjung selesai, aku memutuskan untuk menginjak sepatu mereka, membuat mereka berteriak bersamaan.

Hal itu membuat beberapa pasang mata menatap ke arah kami, tetapi aku tak peduli. Sebab, aku melihat dengan ekor mataku bahwa Alvan sedang berjalan menuju arahku.

"Sakit, Va!" ringis Juan.

"Alvan mau ke sini, bego. Lo berdua sih ribut mulu." Mendengar itu, mereka berdua melihat ke ujung parkiran lalu mengangguk.

"Oke, biar berangkatnya Auva sama gue, karena motor gue deket. Pulangnya nanti sama lo," kata David. Juan mengangguk setuju, lalu aku merasa tarikan pada tanganku.

Ada untungnya juga punya dua curut yang bisa diandalkan.

Benar, baru setengah jalan Alvan mendekat. David sudah lebih dulu menjalankan motornya, aku hanya cekikikan di balik punggung David.

"Seneng banget lo ngerjain anak orang," ucapnya.

"Bodo amat, dia punya anggota ngeselin semua anjir!"

"Diapain lo sama dia?" tanya David setengah teriak.

Aku hanya menggelengkan kepala, merasa bahwa membahas di atas motor yang melaju kurang memuaskan.

"Nanti aja kalau udah di tempat, bakal gue ceritain sampai abis," kataku, David hanya mengangguk.

Lalu, aku melihat Juan yang berada di belakang, anak itu cepat sekali mengejar kami. Pada akhirnya, kami berhenti di kedai kopi langganan mereka. Ya, ujungnya bertemu dengan Arjun ini mah.

"Ngapain ke sini sih?" tanyaku pada mereka.

"Yang aman tuh di sini, Bradiz mana bisa jangkau bagian ini." Aku mengangguk kecil.

Lalu, kita bertiga masuk ke dalam kedai kopi. Aku melihat Arjun tengah bercanda ria dengan Fadil. Melihat itu, aku jadi membayangkan kembali ucapan dari Juan.

"Wan, gua kok jadi ragu liat mereka, ya?" ujarku sambil terus menatap Arjun dari jauh.

Dari belakang, aku mendengar suara tawa kecil mereka. Aku mendengus saat ucapanku diabaikan. Langkahkan kakiku menuju mereka. Sampai di sana, aku memberikan kode lain untuk diam.

Satu.

Dua.

Tiga.

Baa!

"Setan anying!" Aku tertawa mendengar umpatan itu. Kulihat Arjun berbalik badan, langsung bangun, lalu menjepit kepalaku dalam ketiaknya.

"Oh jadi ini pelakunya, enak ya ngagetin gitu aja, hm?" Aku masih tertawa sambil mencoba melepaskan lilitan tangannya.

Sementara Juan dan David sudah bergabung dengan yang lain, aku meronta dan pada akhirnya, Arjun melepaskan lilitan tersebut ketika aku menggigit lengannya.

"Bau, suruh siapa ngetekin gua?"

Sambil meringis, dia menatapku sinis, "Lagian lo sih ngagetin gua." Aku hanya tersenyum puas dan duduk di bangku yang tadinya ia tempati.

Sementara Juan dan David sudah bergabung dengan yang lain, aku meronta dan pada akhirnya, Arjun melepaskan lilitan tersebut ketika aku menggigit lengannya.

"Bau, suruh siapa ngetekin gua?"

Sambil meringis, dia menatapku sinis, "Lagian lo sih ngagetin gua." Aku hanya tersenyum puas dan duduk di bangku yang tadinya ia tempati.

"Hai Fadil," sapaku padanya, dan Fadil mengangguk kecil.

Suasana berubah saat Arjun duduk di samping kiriku, sehingga aku berada di tengah antara Fadil dan Arjun. Juan dan David sudah melaporkan apa yang terjadi padaku, akibat siapa, dan alasannya. Aku hanya duduk sambil memakan kue yang sudah disodorkan oleh Arjun.

Tiba-tiba, gebrakan meja terdengar, membuatku terkejut, begitupun dengan yang lain. Arjun ini, aku sedang makan, kenapa ia malah menggebrak meja sih?

"Lo ditampar dua kali?" Aku mengangguk kecil.

"Terus kenapa lo diem?" tanya balik Arjun.

Aku menggelengkan kepala, "Mana ada, gua tampar balik Wulan, terus kata Naka abis itu dia diputusin sama Abyaz." Arjun mengangguk paham.

"Baguslah."

"Tapi ya, Alvan beberapa kali pengen deketin gua, entah karena apa yang jelas dia sempat beberapa kali ngejer gua." Arjun menatapku dengan diam.

"Terus lo menghindar?" Aku mengangguk, memang iya, aku sengaja menghindar dari dia.

"Biar uring-uringan, mampus," ucapku. Setelah itu, Arjun terkekeh lalu mengacak-acak rambutku.

"Pinter ya, bikin wakil geng itu kelabakan."

Setelahnya, mereka membahas hal yang aku kurang ketahui. Aku hanya diam, sesekali menimpali saran dari mereka. Aku pun diam-diam mencoba memahami maksud dari mereka, hingga mataku menatap salah satu dari mereka dengan pandangan yang sulit.

Kenapa dengan dia?

ー ABOUT FEELINGS ー

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang