48 - AF

893 64 10
                                    

Seorang pria dewasa dengan wajah yang penuh dengan amarah memasuki rumahnya. Satrio merasa gelisah dan khawatir terhadap putri pertamanya yang tiba-tiba hilang begitu saja. Perasaannya semakin kacau ketika pintu kamar sang anak terbuka.

Dengan tergesa, Satrio melangkahkan kakinya menuju ruang kerja pribadinya, diikuti oleh delapan orang remaja lainnya. Saat sampai di ruang kerja, Satrio menyuruh mereka semua untuk berdiri secara sejajar. Kini Satrio tengah berhadapan dengan mereka, berdiri dengan berkacak pinggang sambil menatap satu persatu wajahnya.

Plak!

Semua orang yang mendengar itu lantas terdiam, matanya membulat ketika mereka mengetahui bahwa Satrio baru saja menampar Alvan di hadapan mereka. Suara tamparan menciptakan keheningan tegang di ruangan.

"Saya sudah berusaha percaya dengan kamu, Alvan. Tapi mengapa anak saya bisa hilang diculik, padahal dia masih bersama kalian!" Satrio mengeluarkan kata-kata penuh dengan kekecewaan, suaranya bergema di ruang kerja yang tegang.

Alvan yang mendapat tamparan itu hanya bisa diam, pipinya memang perih, tetapi tidak sebanding dengan rasa takut pada diri Satrio yang kehilangan putrinya. Wajahnya mencerminkan penyesalan, dan matanya yang penuh dengan ketidakpastian.

"Ayah.. tenang dulu." Satrio yang mendengar itu langsung memundurkan langkahnya, menatap remeh pada segerombolan remaja tersebut. Wajahnya terpancar amarah yang mendalam.

"Kamu kenal saya itu bukan sebulan dua bulan, Arjun, seharusnya kamu tau watak saya seperti apa!" tegur Satrio dengan nada tegas, menciptakan aura ketegangan di ruangan.

Arjun mendengar itu mendadak diam, dirinya tahu betul bahwasanya sifat Satrio itu arogan. Hanya pada keluarganya Satrio akan bersikap hangat, berbeda ketika Satrio sudah keluar dari rumah dirinya akan menjadi seperti ini.

Auva, yang bahkan notabenya anak kandung Satrio, tidak mengetahui bahwa sang ayah mempunyai sikap yang arogan dan tidak suka dibantah. Mengapa Satrio bisa berbicara seperti itu kepada Arjun? Karena pada saat Satrio mencoba untuk melumpuhkan lawan bisnisnya, tidak sengaja Arjun mengetahuinya. Rasa penasaran dan keingintahuannya membuatnya terjerat dalam situasi yang rumit.

Bukannya merasa takut karena kepergok oleh sang ponakan, Satrio malah tersenyum dan merangkul Arjun. Bahkan, dia memiliki ruang eksekusi sendiri bagi siapa pun yang membuat kesalahan dengannya. Suasana menjadi tegang dengan senyum yang lebih mirip ancaman.

Jelas saja, hal ini membuat Arjun semakin takut pada sosok pamannya itu. Dari situ, ia merasa sedikit gentar ketika bertemu Satrio di luar kawasan rumah.

"Kenapa diam? Baru menyadari itu?" Satrio menyeringai, lalu duduk di kursi kerja sembari menatap tajam mereka, menciptakan ketegangan di ruangan.

Satrio merasa sedikit tenang ketika mengetahui sang istri kini berada di rumah sang mertua. Dirinya bisa leluasa menampilkan sisi gelapnya tanpa membuat sang istri takut. Keberadaan istri di rumah orang tua memberinya kebebasan untuk menunjukkan wajahnya yang lebih tegas dan tanpa ampun.

"Sekarang, saya tugaskan kepada kalian semua untuk membawa putri saya kembali. Terserah bagaimana cara yang kalian pakai, saya tidak akan peduli." Satrio tersenyum tipis melihat mereka dengan tatapan serius.

"Saya hanya ingin Auva kembali ke dalam dekapan saya. Jika, kalian semua gagal membawa Auva pulang, maka bersiaplah dengan konsekuensi yang akan saya berikan." Lanjut Satrio, mendengar itu, Liam menganggukan kepalanya dengan serius.

"Kami semua akan terima konsekuensinya apa pun dari om, kami akan siap jika memang kami tidak berhasil menemukan Auva." Satrio mengangguk, mengapresiasi ketegasan Liam.

ABOUT FEELINGS [END]Where stories live. Discover now