Chapter 45 : Papa Sean.

82 20 0
                                    

Chapter 45 : Papa Sean.

    "Kak Daffa, Raka, sama Kak Rafa kayanya bakal sibuk-sibuknya buat mempersiapkan diri supaya mereka bisa ningkatin nilai sebelum UN beberapa bulan lagi, ya?" Putri berucap lemas, ia bagai kehilangan separuh jiwanya.

Ifah mengangguk sebagai jawaban. Mood nya sedang lumayan buruk karena akhir-akhir ini ada beberapa masalah yang tengah menimpa dirinya.

"Berarti ... Raka bakal lulus dan ga di sekolah ini lagi, ya?" keluh Putri tak sadar.

Ifah tersenyum kecil, lalu menjawab dengan tangan mencubit ujung hidungnya pening, "Iya. Mereka juga bakal melanjutkan ke tujuan selanjutnya."

Putri, sebagai makhluk yang sangat tidak peka, melanjutkan mengeluh, "Sedih juga. Tapi, mereka bakal kuliah? Atau apa bakal langsung kerja, ya?"

"Entahlah. Pilihan apapun, itu ada di tangan mereka masing-masing. Selagi halal, kenapa enggak?" Ifah mengaduk bekalnya sedikit muram.

Suaranya sedikit terlalu pelan, hingga menarik perhatian Putri guna menatap wajah sahabatnya itu. Putri bertanya khawatir, "Lo kenapa? Sedih karena bakal pisah sama kak Daffa? Gue juga, kok. Rasanya sedih banget karena harus pisah sama cowok ganteng kaya gitu~"

Lagi-lagi, Putri masih belum mengerti suasana hati Ifah yang tengah turun.

Ifah membanting sendok makannya, lalu menatap Putri kesal, tubuhnya bergetar karena panik memikirkan hal buruk, dan Putri masih saja asik membahas Daffa dan kawan-kawan.

Putri terkejut, dirinya tertegun sejenak. Saat jiwanya pulih, suara langkah kaki menjauh dan ucapan lirih masuk ke pendengarannya, "Maaf. Gue keluar bentar. Izinin ke guru, tolong."

"Okee. If if kenapa, ya?" gumam Putri linglung. Tak biasanya Ifah membanting barang-barang saat marah.

***

Ifah duduk di kursi bekas yang telah pudar warna catnya. Gadis itu tengah terduduk di rooftop sekolah, bersama sejuknya angin yang mengalir dari udara.

Dirinya merenung, memikirkan sang Ayah yang tak berkabar setelah lebih 15 hari pergi misi ke perbatasan negara.

Ifah berdiri, tangannya ia taruh di dinding pembatas rooftop yang setinggi dada, lalu menaruh dagunya di atas lipatan tangan itu. Netranya bergeser, menatap awan putih yang terus bergerak menutupi indahnya cakrawala biru.

Menghela nafas gusar, akhirnya ucapan pun tak lagi dapat ditahan, "Papa kemana?" lirihnya.

Kemarin.

"Mama nangis? Kenapa?"

Naviza menggeleng menjawab pertanyaan sang kakak. Ia tak tahu alasan sang ibu tiba-tiba pulang ke rumah dan menangis terus menerus.

Ifah bertanya dengan sedih, ujung matanya lembap ketika mendengar jawaban dari sang mama.

Mamanya menjawab, "Udah lebih dari 20 hari papa kamu pergi misi, sampai hari ini masih belum juga ngasih kabar. Bukannya Mama ga ngerti situasi, tapi biasanya Papamu itu pasti bakal ngasih kabar sekali seminggu. Entah itu melalui surat, ataupun kabar dari ponsel."

Ifah termenung, menatap linglung pada udara kosong. "Papa kemana...? Biasanya pasti ngasih kabar lewat ponsel, nyari sinyal di perbatasan ga se susah itu, kan? Biasanya ke perbatasan juga Papa masih bisa ngasih kabar, walaupun sekali seminggu dengan waktu terbatas."

Sesungguhnya. Wajar jika Mama Zakka menangis khawatir, pekerjaan Papa membuatnya semakin rusuh dan takut akan hal-hal tak terduga.

Seorang prajurit aktif, biasanya bisa saja tak berkabar selama sekian bulan. Tapi, Sean adalah prajurit aktif yang akan terus berusaha mencari sinyal jaringan kesana kemari agar bisa sekedar memberi kabar bahwa ia baik-baik saja.

"Tuhan, tolong kirim kabar baik. Wajar kalau Papa belum pulang, wajar kalau mama sedih dan khawatir karena kabar Papa yang gak didapat. Tapi, tolong, seenggaknya kasih papa jaringan telepon meskipun itu cuma dua garis jaringan."

***

Ó.Ò

ADDICTED || DAFFA [Tamat]Where stories live. Discover now