*the way we gonna find-no, we gonna make our home*

879 140 2
                                    



............

   "Kau gila?"

   Lirikan tanpa emosi dari sudut mata Jeno membuat suasana canggung di lorong taman rumah sakit. Beberapa meter darinya berdiri pria asing berpakaian suit hitam yang mahal. Jeno tak ambil pusing, ia masih ingin menyendiri. Berdiri dengan melipat tangan di dada, memerhatikan ruang rawat putri satu-satunya dari jauh. Ada luka yang tak bisa disembuhkan di tatapan Jeno.

   "Kau baru kemarin siuman, sudah nekat berjalan sendiri? Kau gila?"

    Beberapa kali ocehan pria itu membuat Jeno terusik tapi tak ada pergerakan apapun darinya untuk mengusir pria asing entah darimana itu. "Kau tuli? Hey!"

   "Berisik, orang asing."

   Bibir pria itu spontan terkatup. Sorot khawatir di matanya berubah kelabu. Lapisan air memupuk di kedua Indra penglihatannya, mungkin sekali kedip itu akan jatuh jadi bulir air mata. "Asing...."

   Jeno tak acuh untuk seterusnya, arah matanya hanya terkunci pada sang istri yang memeluk erat tubuh kecil putri mereka yang baru selesai meronta. Ia masih tenggelam dalam kesedihan setelah mendengar kondisi ketiga anaknya pasca penculikan itu dari jaemin. Ia merasa gagal menjadi seorang ayah dan suami untuk jaemin dan anak-anak.

   Di sisi lain kobaran dendam di hati Jeno yang semula berwarna merah menyala berubah gelap. Itu umpama amaterasu, badai pun tak akan bisa memadamkannya. Kedua mata jenderal utama elit rahasia itu telah tertutup oleh dendam. Kata Nakano dan Nakamura menjadi hal terlarang di hidupnya. Ada banyak kebencian yang terpupuk apik di hatinya. Ia harus membalaskan dendam anak-anak dan istrinya dengan lebih menyakitkan. Dua keluarga itu harus—

   "Nama aslimu Jung Jeno, kan? Anak kedua dari kedua orang tuaku yang di titipkan pada perempuan bernama Jung yejung. Anak kedua—adikku. Adik kandungku."

   Deg.

   Jeno menoleh, menatap nyalang pada pria itu.
.................

    Jaemin menangis tersedu saat sadar kalau putrinya tenang dengan bantuan obat. Pelukannya tak bisa memberikan ketenangan dan rasa aman untuk Sasha. Ia gagal menjadi ibu yang baik. Itu menghancurkan hati jaemin lebih parah daripada hal apapun di dunia. Lev tak mau berbicara padanya, kirion belum siuman hingga sekarang dan Sasha mengalami trauma berat.

   Renjun terdiam di luar pintu kaca. Ia tak pernah berharap akan bertemu dan melihat jaemin dalam kondisi seperti ini. Sebagai kakak, hatinya serasa remuk mendengar tangisan pilu sang adik. Renjun hitung, tak sampai penuh jarinya terbuka untuk menghitung kapan saja ia dan jaemin tertawa bahagia bersama. Selalu lebih banyak tragedi di hidup mereka. Adiknya benar-benar melawan dunia untuk bertahan hidup.

    "Jaemin-ah...."

  
   Asik tenggelam dalam lamunan pecinta rubah itu tak sadar dengan sosok lain yang berjalan mendekat.

   "Renjun?"

   Si empunya nama menoleh, "loh haechan? Mengapa kau disini?"

   Teman satu grup sekaligus sahabat karibnya itu terlihat salah tingkah, "aku yang seharusnya bertanya padamu."

    ".... Chan, panjang sekali ceritanya." Haechan mengikuti arah pandangan renjun. Kedua matanya membola kala tahu siapa yang tengah renjun perhatikan. "Itu... Jaemin?"

   Renjun mengangguk. "Anaknya sudah besar yah, terakhir kali aku bertemu itu saat masih kuliah dulu. Apa anaknya sakit? Mengapa jaemin menangis tersedu begi–"

    "Jaemin benar adikku," sela renjun.

   Sekali lagi Haechan dikejutkan, ia menatap renjun meminta penjelasan. "Maksu–

[✓] Thantophobia || NominWhere stories live. Discover now