* let the pain lead you into accepted, you will know god loves you*

937 131 5
                                    



.......

    Bunyi ketukan sol pantofel mahal dengan lantai berdebu itu menggema di gedung terbengkalai tempat yang ia datangi. Ayunan langkahnya tidak terkesan lambat ataupun cepat, itu berirama seperti ketukan palu. Sedang di ujung sana terlihat seorang manusia dengan kondisi mengenaskan.

   Tawa ringan yang menemani bunyi langkah kaki membuat manusia menyedihkan itu mengerang ketakutan. Tubuhnya yang babak belur tidak tertolong diikat dengan kuat pada kursi roda. Diujung lantai ke 15 gedung kosong itu, ia tahu kemungkinan terburuk adalah jatuh dan terjun bebas menghantam tanah lalu mati. Tapi ia lebih memilih mati jatuh daripada bertemu dengan sosok yang kini berdiri tepat lima langkah darinya.

    "Ohayo.... Nakano-san?"

   "Mmmppt!!"

   Jeno tersenyum penuh kemenangan. Dia melirik sekilas ke pilar di sampingnya dan menyandarkan bahunya. Melipat tangan dan terus menonton tuan Nakano yang terus berupaya melepaskan diri. Dalam pikirannya mencemooh pria paruh baya itu. Kalau sudah merasakan nikmat mempunyai kekuasaan dan uang, maka seperti inilah hasilnya.

   Menyepelekan nyawa orang lain sedang nyawa sendiri didewa-dewakan. Lucu melihat dia yang kemarin duduk dengan senyum congkak ketika anak buah Jeno kalah dan dibunuh didepan seluruh keluarga besar Nakano. Lihat sekarang, tidak jauh berbeda.

  Jeno tersenyum begitu lebar hingga kedua matanya ikut tersenyum, tapi tidak ada yang merasa nyaman. Senyum lebar Jeno lebih terlihat seperti ancaman mematikan. Sedetik kemudian senyuman itu hilang, sorot setajam elangnya melirik ke arah anak buahnya yang berdiri tak jauh.

  Senyum puas terbit saat muncul dari belakang para anak buahnya seorang ibu dan anak-anak. Ada anak laki-laki sekitar umur belasan juga satu yang masih didalam buaian. Jelas terpancar tatapan penuh dendam dari mereka dan itu membuat senyum senang tipis tipis merekah di wajah Jeno.

   "Lihat, aku menepati janjiku. Terserah mu akan di buat apa bajingan itu." Jeno merasa senang saat melihat tatapan yang sarat akan kebencian di wajah perempuan itu.

   "Dia yang membunuh suamiku dengan tragis?"

   "Siapa lagi?"

   "Kau biadab!" hina perempuan itu pada tuan Nakano.

   remaja lelaki itu tanpa basa-basi meraih botol kaca dan melemparkannya kearah tuan Nakano.

   Pyarrsshh

   "AAAKH! hmppt.. hmm!!"

   Namun setelahnya terperanjat saat tahu botol kaca yang ia lempar berisi cairan asam dan mengenai wajah serta tubuh tuan Nakano. Pria tua itu megap-megap seperti ikan hidup yang dituangkan minyak mendidih. Kulit wajahnya meleleh dan mengeluarkan darah yang banyak.

  "I-itu cairan asam?" gumam remaja laki-laki itu.

  Jeno tergelitik melihat reaksi remaja itu. Memang benar, hati bisa dilapisi apapun tapi isinya tetap sama. Anak itu tengah diliputi rasa marah dan tidak terima akan kematian tragis sang ayah, bukan sebenar-benarnya tega. Jelas sekali dari mata polosnya itu bahwa ia sendiri shock melihat hasil dari tindakannya.

  "Kau yang menyiksanya saja." Semua mata tertuju pada sang ibu yang hanya diam menatap dingin tuan Nakano yang menjerit kesakitan.

  "Ya, nyonya?"

  Wanita dewasa itu menghirup nafas panjang untuk menetralkan emosinya. "Joowon memang bukan lelaki yang baik, tapi ia selalu mencoba yang terbaik untukku dan anak-anak. Anak-anakku begitu mengidolakannya sebagai ayah, mereka hanya tahu pekerjaan suamiku keren karena ia bertarung melawan musuh. Tapi kenyataannya, itu bahkan bukan musuhnya.

   Suamiku orang yang baik..."

  Wanita itu menangis dalam diam. Suasana menjadi tidak enak, para lelaki itu hanya menunduk disaat wanita itu menangis. Jeno termenung di posisinya, tatapannya tak setajam tadi. Hanya ada kekosongan yang terbaca, namun tak seberapa lama ia pun ikut menurunkan pandangan.

   'apa dulu ibu ku menangis sepilu itu saat meninggalkanku? Kenapa aku ditinggalkan?'

   Mood Jeno menjadi kacau, adrenalinnya seperti dipacu tiba-tiba dan membuat dadanya sesak. Ia memaksa untuk tak berkedip, ia tak mau embun di matanya itu jatuh menjadi air mata.

   "Arrgghhh!"

  Raut sendu itu hilang seketika menjadi raut datar. Lirikan matanya kembali setajam elang, memperhatikan tuan Nakano yang masih meronta-ronta kesakitan.

   "Kau tak mau menghukumnya?"

   "Kau saja," jawab wanita itu.

  Jeno mengangguk-anggukkan kepalanya dan melangkah pelan mendekati tuan Nakano yang meringis kepanasan. "Ya baiklah, kau!"

  Jeno menunjuk salah satu anak buahnya dengan dagu, "ya bos?"

   "Bawa bajingan ini ke ruanganku," titah Jeno.

   "Lempar aku! Lempar aku! Lebih baik aku mati kau Jung sampah!"

   "Lee. Kau pikir itu benar-benar akan membunuhmu? Kau benar-benar ingin ku lempar dari sini?" Jeno menahan tawa sikopatnya itu.

   Dengan satu mata yang selamat dari cipratan air keras tadi. Rasa dendamnya kental sekali terlihat dan ditujukan langsung untuk Jeno. "Itu tidak wah sama sekali," komentar Jeno.

   "Kau tahu apa yang lebih wah?" Tatapan itu mulai getir saat Jeno meraba lambat tengkuknya.

   "Ha!! Ugghh!"

   Jeno menarik kerah belakang pakaian tuan Nakano hingga tubuh dan kursi tempat pria tua itu diikat ikut terangkat. "Kau ingin sekali dilempar kan? Lihatlah apa yang benar-benar bisa diakui 'wah' "

   Tanpa beban melempar tubuh tuan Nakano dari lantai 15. Teriakan mengerikan pria tua itu terdengar di seluruh lantai. Dalam ketegangan melayang di udara dengan kecepatan tinggai, tuan Nakano baru sadar kalau tiap lantai sudah penuh dengan anak buah Jeno. Mencemooh nasibnya, pria tua itu sudah menutup mata pasrah untuk kematian.

   Namun sialnya ia tak tahu seberapa kejam seorang Alexander tiriro.

   "Aakhh!"

   Tubuhnya terlambung kembali dengan cipratan darah yang kemana-mana. Ada trampolin dengan tempelan picau cutter yang menghadap vertikal keatas menyambut tubuhnya. Ia harus merasakan itu berkali-kali dengan menyakitkan sebab ada tali yang menariknya sedikit lebih naik sebelum kembali di jatuhkan.

   Tuan Nakano mati mengenaskan setelah tak sanggup menahan sakit akan lambungan ke sepuluh. Tubuhnya tidak berbentuk lagi dengan banyak sekali luka tusukan sedang di sekujur tubuhnya. Bahkan ada beberapa cutter yang tersangkut ditubuhnya.

   "Jangan kuliti dia. Gantung dia di lampu rumahnya, hadiah kita untuk mereka yang pertama." Anak buah Jeno mengangguk patuh dan bersama-sama menarik tali yang mengikat kursi dengan mayat mengenaskan tuan Nakano.

   Jeno mendekati dua orang ibu dan anak yang masih diam karena shock. "Semua sudah impas kah menurut kalian?"

  "S-sudah... Tuan," jawab wanita itu ketakutan.

   "Bagus kalau begitu. Sore ini pindah ke Bolivia, aku punya kehidupan yang layak untuk kalian disana. Jangan ditolak."

   Tanpa rasa peduli pria anak 3 itu pergi meninggalkan mereka. "Ibu, aku masih tidak terima..."

   "Ya, sama."

   Sang ibu tak lagi mencoba menutupi kesedihannya. Anak buah Jeno seluruhnya diam dalam posisi sebelum sama-sama membungkuk.

   "maafkan kami."

   "Ya."

















TBC.
  
P.s; capek hehe

[✓] Thantophobia || NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang