Chapter 2

83.1K 4.9K 32
                                        

"Reagan ada?"

Seorang perempuan dengan penampilan berkilau mendekati meja Sisil yang saat itu sedang mengikir kukunya karena bosan setengah mati.

Pekerjaan yang dilimpahkan padanya sudah selesai. Dito mengirimkan beberapa  dokumen untuk diperiksa Sisil dan kemudian diarsipkan dalam fail gadis itu, setelah itu ghibah via WhatsApp   dengan Yuna dan Meita, mengobrolkan harga diskon di butik Zara yang digelar jam tiga sore nanti. Tapi sebenarnya Sisil nggak begitu berminat. Sebab dia tipikal orang yang menyimpan seabrek baju di lemari, tapi jarang banget dipakai. Lagi pula kamar kosnya juga nggak besar.

Tapi semenjak mengenal Daya, sepertinya Sisil sudah menarik lagi keputusannya itu. Lantaran sering mendapatkan  barang-barang branded  bekas dari adik tiri Reagan itu. Daya dengan senang hati melimpahi Sisil dengan banyak sekali gaun-gaun, sepatu- sepatu, atau tas dan aksesori bermerek. Sebagian Sisil hibahkan pada teman-temannya. Karena ada model gaun yang sama sekali nggak masuk dalam kriterianya. Seperti misalnya gaun pesta Dayana yang bling-bling itu.

Sisil berdiri dengan sikap sempurna. Tegap dan kedua tangannya bertemu di depan dada. Tak lupa ia menyuguhkan senyuman artifisial yang sudah bertahun- tahun dipelajarinya di akademi.

"Maaf, Pak Reagan masih berada di Norwegia. " Jawabnya formal.

Alis si perempuan itu naik sebelah. Pasti setelah ini banyak sekali pesan WA yang masuk ke ponselnya. Karena semua orang kepo dengan love life si bos duda yang gantengnya ngalahin Chris Hemsworth di Thor Ragnarok.

"Kok dia nggak bilang ke saya, ya?" Perempuan berpenampilan paripurna itu kemudian merogoh ke dalam tas Prada Double Saffiano Leather Mini Handbag warna hitamnya yang menggantung dengan anggun di lengannya yang sekurus ranting.

Perempuan itu kemudian merogoh ke dalam tasnya, mengambil ponsel dengan casing dari Louis Vuitton, yang membuat Sisil menahan mata supaya nggak melotot atau norak. Sekali lagi, Sisil mengamati penampilan perempuan itu. Dari atas dia mengenakan kemeja sutera dari Roberto Cavalli, dan rok model mengembang  dari Chanel dan sepatu Manolo Blahnik. Secara keseluruhan, perempuan ini mirip maneken berjalan.

Beberapa saat kemudian, dia mengutak- atik ponselnya. Sisil mempersilakannya duduk di atas kursi milik Dito. Perempuan itu hanya melambaikan tangan, tapi tak menatap ke arah Sisil sama sekali. Seolah-olah Sisil adalah debu atau udara bagian dari ruangan tersebut. Alias tak kasat mata.

Dia menempelkan benda persegi itu ke telinga kanannya. Satu detik, dua detik, tiga menit, lima menit, sepuluh menit. Tidak mendapatkan respon, bibirnya yang berpulas lipstik merah mencorong itu mengerut tak suka.

Dari pengamatan Sisil, kemungkinan perempuan itu mencoba menghubungi yang lain. Kemungkinan besar adalah embahnya Kee. Barangkali mau mengadu. Seperti yang dilakukan para perempuan - perempuan sebelumnya.

Sisil sebenarnya tak terlalu mempedulikan hal itu, namun, dia tetap berkewajiban melayani tamu atasannya-- siapapun itu dengan bibir menyunggingkan senyum sejuta watt yang bisa menerangi seluruh area di Jakarta  Selatan dan wajah ramah.

Meskipun sebetulnya, dia ingin sekali menghalau perempuan yang kini tampak mulai berakting sebagai perempuan teraniaya dan ditelantarkan pada sang calon mertua.

"Orangnya enggak ada, Tante. Kata sekretarisnya ke Norwegia, tuh!"

Sisil menjijitkan alisnya yang lebat dan rapi. Tidak mungkin kan, Bu Devia nggak ngasih tahu kalau anak tirinya itu sedang nggak berada di Jakarta? Mau perempuan ini menyisir sampai ke Pulau Tidung sekalipun, pasti tetap nggak ketemu. Lha wong orangnya lagi ke Norwegia di benua Eropa sana kok. Sisil hanya bisa meniup poninya dengan lelah.

Miss SecretaryWhere stories live. Discover now