Bukannya membawa Sisil kembali ke kosnya di Pesanggrahan, mobil kini melaju ke arah Menteng dengan kecepatan tinggi, sehingga membuat perut Sisil terasa teraduk-aduk.
Dia menoleh was-was ke arah Reagan yang sedang memasang ekspresi kaku. Sepertinya pria itu jadi fokus mengemudi dengan beban pikiran yang menggelayut di kepala.
"Pak," suara Sisil mencicit. Tapi laju mobil malah semakin cepat. Sehingga Sisil harus berpegangan pada pintu mobil. "Pak, " ulang gadis itu. "Bapak mau bikin kita berakhir di rumah sakit?"
Reagan cuma menoleh sekilas. Mobil kemudian memelan. Ekor mata Sisil melirik ke speedometer. 140 km/ jam. Gila ini orang! Pantas ini mobil rasanya kayak mau terbang. Sekalian terbang ke surga kayaknya.
Sisil memejamkan mata. Berharap bahwa dirinya bisa mengulang sore ini. Dia akan memilih untuk membatalkan ikut cigar night itu. Meskipun sudah menerima uangnya. Duit empat juta rupiah nggak sepadan apabila pada akhirnya nyawa harus melayang di tengah jalan.
Gadis itu akhirnya memilih untuk diam seiring kecepatan mobil yang menurun. Kini angka di speedometer menunjukkan 120 km/ jam. Sisil sudah nggak berminat untuk membangun obrolan dengan pria itu. Takut kalau tiba-tiba dia kumat kayak barusan itu.
Sisil masih sayang nyawa. Lagi pula dia juga masih harus pulang ke Semarang buat ketemu Ibunya.
***
Mobil memang benar-benar berhenti di rumah Menteng. Reagan mengklakson sekuriti yang malam itu berjaga di pos. Pak Samin bergegas menekan tombol untuk membuka pintu gerbang.
Begitu gerbang bergeser membuka, Jaguar itu meluncur mulus. Melintasi hutan mungil di area depan, lalu jalan setapak berkerikil dan tibalah di depan pintu rumah.
Rumah Deviana sendiri tampak terang benderang. Padahal saat ini waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari. Reagan membuka kunci sentral, sehingga Sisil bisa turun. Dia sendiri langsung menghambur dan membuka pintu depan yang ternyata nggak terkunci itu. Sementara Sisil setia mengekor pria itu dengan wajah cemas bercampur was-was.
Kalau reaksi Reagan sampai sepanik itu, pasti telah terjadi sesuatu pada Kee. Mendadak rasa takut menyelusup ke dada Sisil sendiri. Ia khawatir Kee sakit lagi seperti waktu itu.
Wanti menyambut Keegan dengan wajah panik bukan main. Perempuan itu langsung menggiring Reagan ke kamar Kee. Di sana ternyata sudah ada Bude Jumi yang sedang duduk di tepi ranjang Kee dengan ekspresi panik.
Mendengar suara langkah kaki, Bude Jumi kontan membalikkan badannya. Ia terlihat lega ketika Reagan muncul dengan wajah dingin. "Mas Kee mendadak panas. Padahal Ndoro sama Mister baru mungkur tadi sore. Jam sebelas tadi Mas Kee gelisah gitu." Papar Bude Jumi.
Reagan sebenarnya memang selalu memantau keadaan putranya. Meski ia terlihat seperti menjaga jarak dari Kee. Sisil sendiri tergolong sering menerima telepon dari Reagan dalam rangka menanyakan Kee.
Hanya saja pria itu memang terlihat enggan untuk memulai obrolan dengan putranya itu. Atau kalau menurut Sisil, kemungkinan Reagan nggak tahu bagaimana caranya menjalin hubungan dengan seorang anak laki-laki berusia tujuh. Meski itu adalah darah dagingnya sendiri.
Bukan salah Kee kalau dia lahir dari sepasang manusia yang nggak bertanggungjawab. Ayah dan ibunya bahkan nggak menikah. Kee adalah anak diluar nikah. Akan tetapi seharusnya setiap anak berhak mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya.
"Kee kenapa Bude Jumi?" Sisil yang muncul dari ambang pintu tentu saja kaget melihat kondisi bocah itu.
Tubuh Kee terbujur di atas ranjang dengan selimut tebal yang menutupi hingga ke bawah dagu. Sesekali rengekan lolos dari bibirnya. Di dahinya ada kompres. Sementara kedua tangannya berpegangan erat pada selimut.

YOU ARE READING
Miss Secretary
ChickLitMenjadi sekretaris seorang Reagan Maximillian Aldrich bukan sesuatu yang mudah. Pria itu kadang nggak berbicara dan membuat Sisilia Renata susah menerjemahkan apa maksudnya. Bagi Reagan Maximillian Aldrich, kebutuhannya sudah terpenuhi dengan adany...