Reagan lebih tidak menyangka lagi, ketika pihak HRD menyampaikan bahwa Sisil sudah mengundurkan diri per hari ini. Pria itu baru mengetahuinya ketika Farah, anak HRD menelepon ke ruangan Reagan untuk konfirmasi. Membuat pria itu tertegun-tegun.Untuk lebih meyakinkan lagi, siang harinya, surat pengunduran diri itu diulangi, dikirim via surel ke alamat email milik Reagan pribadi.
Sebagai respon, Reagan langsung memanggil Dito ke ruangannya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Kenapa Sisil mengundurkan diri?"
Jelas dong, Dito bengong. Dia nggak tahu duduk perkaranya tiba- tiba ditodong dengan pertanyaan semacam itu oleh bosnya yang semakin ke sini, semakin menunjukkan sikap arogansinya. Lagi pula siapa yang jadi bosnya di sini? Hubungan Dito sama Sisil juga selama ini baik-baik saja. Sisil adalah perempuan tahan banting. Kalau sampai dia nggak tahan berada di tempat ini, berarti ada yang menurutnya sudah keterlaluan. Lalu seperti mendapatkan ilham mendadak, Dito menatap bosnya dengan pandangan horor.
"Apa?" sentak Reagan
"Memangnya Bapak sudah ..."
"Hmmmh,"
Reagan mengangguk santai. Seolah-olah mengajak sekretarisnya melakukan pernikahan kontrak adalah hal yang wajar. Dito geleng-geleng. Yang dibalas dengan pelototan tajam oleh Reagan.
Tatapan pria itu menerawang tak tentu arah. Rupanya gadis yang satu ini memang nekat. Serius marah dan tersinggung padanya. Ataukah sebenarnya dia hanya ingin bermain permainan hard to get? Pura- pura jual mahal, padahal sebetulnya mau. Apakah tawaran Reagan kurang tinggi? Uang, apartemen, mobil. Apa itu kurang? Bukankah itu yang semua perempuan cari?
Biasanya perempuan punya pikiran senaif itu. Bahwa mereka memang menganggap diri sendiri begitu berharga, jadi setiap pria yang ingin mendekati, harus berusaha dengan keras. Effort tinggi.
Satu sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman keji. "Kamu broadcast saja kalau Sisil ke luar dari perusahaan ini dengan tidak baik- baik. Buntu langkah dia!"
Reagan menganggap dengan begitu, Sisil pasti bakal mati kutu. Setelah itu, perempuan itu pasti akan kembali merangkak- rangkak untuk meminta pekerjaannya kembali. Senyum iblis bermain di bibir merah Reagan. Dia merasa ini akan berhasil.
Lain Reagan, lain pula Dito. Lagi- lagi, lelaki itu cuma bisa bengong mendengarkan perintah bosnya yang terbilang kejam itu. "Maksud Bapak, kita akan menjegal langkah Sisil supaya dia sulit cari pekerjaan di luar sana? Dengan cara black campaign?"
"Masih perlu tanya?"
Dito terpekur sejenak. Dia menyesal karena telah memberikan ide itu pada bosnya. Pria itu mendesah lelah. Tapi toh dia tetap harus melakukan perintah si Bos, supaya rekeningnya tetap aman.
"Sebenarnya, seberapa besar Bapak menginginkan Sisil?" sebelum keluar dari ruangan, Dito ingin memastikan sesuatu pada Reagan.
"Pertama- tama," ujar Reagan tajam, "itu bukan urusanmu. Kedua, saya terlanjur menginginkan dia sebagai tameng untuk saya." Tegas Reagan mantap. Tanpa menoleh ke arah Dito sama sekali.
Dito menggeleng putus asa. Bos benar-benar sosiopat. "Cepat lakukan tugasmu, atau kamu mau menyusul Sisil untuk resign?" Dito buru- buru berbalik dan meninggalkan ruangan itu.
***
"Resign?" alis paripurna milik Bu Deviana langsung menukik tajam, begitu mendengar pernyataan pengunduran diri Sisil barusan.
Kemarin dia pulang dalam kondisi kebingungan dan marah karena melihat wajah Kee yang lebam di beberapa tempat. Menurut asisten rumah tangga kepercayaannya, Bude Jumi, Kee babak belur karena berantem dengan teman sekelasnya.

YOU ARE READING
Miss Secretary
ChickLitMenjadi sekretaris seorang Reagan Maximillian Aldrich bukan sesuatu yang mudah. Pria itu kadang nggak berbicara dan membuat Sisilia Renata susah menerjemahkan apa maksudnya. Bagi Reagan Maximillian Aldrich, kebutuhannya sudah terpenuhi dengan adany...