Alih-alih membawa Sisil kembali ke kosannya, mobil Reagan malah mengarah ke Chronicles Building. Apartemen pria itu memang berintegrasi dengan gedung kantor. Dan karena Sisil sendiri masih asyik dengan pikirannya, jadi dia nggak sadar.
Sisil baru ngeh, setelah Jaguar silver itu berhenti di parkiran gedung apartemen yang gelap. Dia celingukan mengamati suasana. "Ini bukan kos saya deh, Pak." Ujarnya.
"Memang bukan."
"Terus kenapa jadi ke sini?"
Reagan menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Sejurus kemudian ia membalikkan badannya menghadap Sisil. "Saya mau ngomong sama kamu."
Dahi Sisil terlipat. "Maaf, tapi saya rasa sudah nggak ada hal yang bisa Pak Reagan omongin ke saya,"
"Oh, ya?"
"Of course, " Sisil mengangguk-angguk penuh percaya diri. "Mengingat saya bukan lagi staff Bapak."
Lagi-lagi Reagan menatap Sisil dalam-dalam. Kali ini pun agak lama mata itu terpancang pada netra Sisil yang kecokelatan. Sisil memang cantik. Reagan menyadarinya baru-baru ini, karena kebersamaan mereka yang belakangan makin intens.
Ditatap sedemikian rupa, terang saja membuat Sisil jadi salah tingkah. Dia bukan mau ke- geeran atau apa. Tapi jarang sekali Reagan yang super disiplin itu mau menghabiskan waktunya buat memandangi seorang perempuan yang nggak akan membawa keuntungan bagi perusahaan yang sedang dipimpinnya. Jadi sekarang Sisil merasa curiga. "Sebenarnya ini ada apa ya, Pak?"
"Sudah saya bilang, jangan panggil Pak kali ini."
"Terus?"
"You just can call my name."
Sisil cuma bisa mengedip-ngedipkan matanya. Bingung dengan kondisinya saat ini. Gadis itu akhirnya mengalihkan pandangan sambil mendesah. "Terserah kamu deh, Re." Sisil meraup rambutnya.
Reagan akhirnya mengangguk-angguk puas dengan kata-kata Sisil barusan. Pria itu kemudian menekan kunci sentral. Pintu mobil sekarang terbuka. "Kita ke unit saya," ujarnya. Sisil berharap bisa kabur. Tapi mata biru Reagan nggak berhenti mengawasinya.
***
Meski sudah cukup sering berada di apartemen untuk mengerjakan tugas yang diperintahkan oleh atasannya itu, kembali ke tempat itu pada malam hari dan dalam kondisi berbeda ternyata benar-benar terasa lain.
Sisil sekarang merasakan kecanggungan yang dulu pada awal-awal ia masuk ke tempat tersebut sempat ia abaikan. Perbedaanya adalah sekarang dia berada di tempat ini bersama si pemilik unit. "Kamu bisa tunggu saya di livingroom. Atau kamu mau bikin sesuatu di dapur juga silakan."
Kata-kata itu sebenarnya sederhana saja. Tapi efeknya membuat dada Sisil seolah sedang diterjang badai dahsyat. Belum lagi saat mengatakannya, ekspresi dan nada bicara Reagan benar-benar lembut. Lain dari biasanya.
Kalau sejak dulu Sisil tahu pria itu bisa selembut itu, tentu saja sudah sejak lama dia akan mengidolakan Reagan. Selama ini, menurut Sisil pria itu lebih menyerupai batu karang. Kokoh. Dingin. Kaku. Jenis pria yang Sisil kira nggak akan membuatnya bahagia. Namun peristiwa barusan itu membuat Sisil jadi mau tak mau harus mengkaji ulang pendapatnya tentang Reagan.
Begitu Reagan beranjak ke kamarnya, Sisil hanya bisa mematung. Beberapa menit kemudian untuk sekedar mengurangi ketegangan, Sisil akhirnya meletakkan tas tangannya di atas meja kopi bundar di ruang televisi. Gadis itu kemudian melangkah ke dapur bersih dengan peralatan supercanggih. Ada oven besar berstandar industri. Kitchen island yang cukup luas dengan permukaan marmer yang mengilap. Kitchen set dan kitchen sink nya pun juga nggak kalah mewah.

YOU ARE READING
Miss Secretary
ChickLitMenjadi sekretaris seorang Reagan Maximillian Aldrich bukan sesuatu yang mudah. Pria itu kadang nggak berbicara dan membuat Sisilia Renata susah menerjemahkan apa maksudnya. Bagi Reagan Maximillian Aldrich, kebutuhannya sudah terpenuhi dengan adany...