Begitu keluar dari kamar mandi dan mendapati bahwa Sisil sudah tidak berada di tempat tidurnya, Reagan langsung bergerak cepat untuk menggeser pintu walkin closet. Dia menyambar sehelai kaus dan celana piama. Lalu bergegas keluar kamar.
Insting pria itu mengatakan mungkin saja Sisil kelaparan, jadi dia segera menuju dapur. Benar saja. Gadis itu sedang duduk di stool sambil menggigit sebutir apel. Di hadapannya ada sebotol air mineral dalam kemasan yang biasa distok pria itu di kulkasnya.
Melihat Sisil berada di rumahnya, duduk nyaman di dapurnya, entah mengapa membuat perasaan Reagan jadi nyaman. Padahal sebelum ini dirinya tidak menyukai pada sesuatu hal yang berbau domestik.
Reagan tidak percaya pernikahan. Apalagi cinta. Tidak ada yang mengajarkan padanya bagaimana cara mencintai seseorang. Selama ini, ia hanya hidup untuk dirinya sendiri. Namun setelah melihat dampaknya pada Kee, dia merasa bahwa dirinya ingin merubah segalanya.
Ketika melihat Sisil tadi, ia merasakan bahwa sudah saatnya ia harus berhenti di satu tempat. Atau satu orang. Dan orang atau tempat itu, ia harapkan adalah Sisil.
Melihat Reagan yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya, membuat Sisil kaget dan serta merta meletakkan apelnya. Buru-buru dia membuka tutup botol dan menenggak isinya hingga tandas. "Kenapa buru-buru? Kamu lapar ya?"
"Nggak," Sisil menggeleng kuat-kuat.
"Kenapa takut sama aku?"
Sisil lagi-lagi menggeleng.
"Tapi wajah kamu menunjukkan itu. " Reagan menarik stool yang berada di sampingnya Sisil. Ia pun menempatkan diri di atasnya.
"Aku pikir kamu nggak akan percaya kalau ini... " Sisil tersipu-sipu.
"How far along are you ?"
"About five weeks."
Reagan tampak berpikir sejenak. Seingatnya saat itu dia baru pulang dari Hong Kong kemudian meminta Sisil untuk datang ke apartemennya. Sebelum ia berangkat ke Hong Kong pun ia juga banyak menghabiskan waktunya bersama Sisil. Terutama di tempat tidur.
Jadi seharusnya itu memang anaknya. Lagipula dia tidak akan sanggup membayangkan bila yang ada di kandungan Sisil adalah benih dari lelaki lain. Sebab, bila hal itu sampai terjadi, kemungkinan besar dia akan mendatangi siapapun ayah dari si bayi, kemudian mencekiknya.
"Jadi seharusnya kita menikah kan?"
"Tapi aku nggak mau menikah karena kamu terpaksa."
"Jadi kamu tidak menginginkan pernikahan?" tanya Reagan agak bingung bercampur geram.
"Maksudnya, kalau kamu nggak menginginkan anak ini, atau aku, buat apa kita menikah, Re? Aku nggak mau gagal untuk yang satu itu."
Sekarang Reagan berbalik menghadap ke Sisil. Ia raih tangan gadis yang belakangan selalu memenuhi pikirannya itu. Membuat dunianya yang stabil menjadi porak-poranda. "Aku tidak ingin anak aku terlantar, Sil. Itu artinya aku juga tidak mau kamu sebagai ibunya juga terlantar." Tangan Reagan bergerak meraih sejumput rambut Sisil. "Mungkin aku memang tidak mempercayai cinta atau pernikahan. Tapi dalam hidupku yang begitu sunyi ini, aku jelas-jelas menginginkan kamu. "
Anehnya, Sisil bisa melihat kesungguhan di sepasang mata itu. Hal itu pun membuatnya ingin mempercayai semua kata-kata yang meluncur dari bibir kemerahan dan matanya yang biru.
Refleks tangan Sisil menyentuh perutnya. Bila si bayi lahir, akankah dia memiliki mata sebiru langit Eropa seperti milik sang ayah?
***
"Usia kehamilannya baru masuk minggu ke enam, Pak." Jelas dokter Galih. Pria itu tampak bingung sekaligus terkesan jengah, melihat cara Reagan menatapnya.

YOU ARE READING
Miss Secretary
ChickLitMenjadi sekretaris seorang Reagan Maximillian Aldrich bukan sesuatu yang mudah. Pria itu kadang nggak berbicara dan membuat Sisilia Renata susah menerjemahkan apa maksudnya. Bagi Reagan Maximillian Aldrich, kebutuhannya sudah terpenuhi dengan adany...